Tuesday 29 June 2010

Hubungan Lere- Sontono kembali Mencair melalui Kehadiran Bobi

Part I

Terlepas dari kejadian di oekuse pada 28/05/2010 di mana TNI masuk daerah Timor Leste merusak rumak warga di Naktuka dan pada insiden terakhir sekelompok anggota TNI masuk dengan kendaraan lengkap dengan peralatan militer ke wilayah Timor Leste hingga 3 kilometer tidak berpengaruh kepada hubungan yang dibangun semenjak 2002.
Bahkan ini terlihat dari beberapa mantan Jenderal di Indonesia yang pernah bertugas di esk propinsi ke 27 Timor-timur mulai menunjukan etiket baik mempertemukan anak yang hilang selama masa perang dengan orang tua kandung mereka di Timor Leste, suatu tindakan mulia yang di dukung oleh usaha keras dari kedutaan besar Timor Leste di Jakarta dan konsul besar di Bali.
Namun, usaha keras ini tidak akan terwujud tanpa kerelaan dan kebesaran hati bapak-bapak angkat termasuk beberapa mantan jenderal Indonesia yang mengadopsi anak-anak tersebut semasa perang.
Brigadir Lere Anan Timur, salah satu orang tua kandung dari anak-anak yang hilang tersebut, tidak menyangka kalau para jenderal Indonesia yang dulunya adalah musuh bebuyutan selama pergolakan, pada tanggal 20 Juni 2010 kembali ke Timor Leste bertemu empat mata dengan sang brigadier bukan lagi sebagai musuh tetapi sahabat bahkan lebih dari itu, mereka bertemu dalam suasana kekeluargaan yang mengundang haru sangat mendalam. Kedua brigadier dipersatukan oleh anak mereka. Tercipta suatu kesan yang luar biasa pada saat Lere dan Suntono berpelukan di depan publik.
“Tidak ada musuh yang abadi”, kata seorang staf airport yang saat itu menyaksikan kejadian tersebut dengan airmata haru.
Ini bukanlah sebuah kejadian yang kebetulan. Setidak-tidak pertemuan bersejarah ini terjadi melalui suatu usaha panjang yang melibatkan berbagai individu dan institusi.
Konsul Timor Leste di Bali adalah salah satu pihak yang ikut memberikan sumbangan yang berarti demi terlaksananya kunjungan pertama seorang anak Timor bersama kedua orang tua angkatnya ke Dili setelah 29 tahun meninggalkan negara baru ini. Sungguh suatu usaha mulia dari para staf konsul Timor Leste di Bali di sela-sela kesibukan mereka mengurus kegiatan Protokoler dan nasib para mahasiswa yang lagi belajar serta para pasien Timor Leste yang menjalani pengobatan di rumah sakit Sanglah, Bali.
“Kami melakukan pekerjaan protokoler di Bandara,” Kata Paul da Costa Ximenes, Akting Konsul Besar Timor Leste.
Staff Konsulat Timor Leste semenjak ditangani pak Manuel Serano di tahun 2006, hingga pak Paul da Costa Ximenes yang mengambil alih pada tahun 2008 berjumlah 15 orang.
Di daerah yang selalu di kenal dengan sebutan Pulau Dewata ini teerdapat banyak anak-anak Timor Leste yang menimba ilmu.
“Mahasiswa Timor Leste yang selama ini kuliah di Denpasar-Bali berjumlah 225, SMU 3 orang dan SD 1 orang,” kata Paul.
“Di tahun 2010, ada lagi mahasiswa baru dari Timor Leste yang datang ke Bali yang terdaftar di Konsulat sebanyak 59 orang”, lanjutnya.
Konsul ini juga mengurus masyarakat Timor Leste yang datang ke Bali untuk berobat setelah mendapat rujukan dari Rumah Sakit Guido Valadares.
Artis dan Penyiar RTL, Elder da Costa alias “Bung Lele” merupakan salah satu pasien yang dirujuk ke RS Sanglah mendapat kunjungan dari Konsul besar bersama beberapa staf.
“Orang-orang (red-Timor) yang sakit disini banyak”, kata Bung Lele.
“Kita disini ada di Rumah Sakit Sanglah dimana Pemerintah TL sewa dua tempat, 1 tempatnya ada di Arta dan 1 tempat lagi ada di Rumah Transit di Pulau Ambon, Denpasar”, sambungnya.
Menurut informasi yang ada bahwa jumlah pasien yang rujuk, angkanya tidak pasti. Pada saat Tempo Semanal mengunjungi Rumah Sakit Sanglah terdapat sekitar enam orang pasien yang sedang menjalani perawatan intensif. “
“Tetapi tidak tentu. Kadang-kadang 2 orang, 3 orang datang dan pergi kalau kegiatan (red-perawatan) sudah selesai kembali lagi ke TL,” Konsul Besar, Paul, menuturkan kepada Ttempo Semanal, setelah menengok Bung Lele pada hari…. Bulan …. lalu.
Menurut Paul, kebanyakan pasien yang dirawat, sembuh. Namun lanjutnya ada juga yang meninggal.
Disela-sela melayani wawancara Tempo Semanal saat mengunjungi ruma sakit, Paul dan para staf juga tampak disibukkan dengan usaha memperlancar jalannya pertemuan dan kepulangan anak Brigadir F-FDTL Lere Anan Timur yang hilang selama 29 tahun.
“Betul, pada tanggal 8 April memang pak Brigadero Jenderal Lere Anan datang dari TL transit di Denpasar ke Jakarta kebetulan beliau bertemu dengan kedutaan kita di Jakarta”, kata Paul.
Katanya, beliau (red-Lere) sempat ketemu anaknya lewat pak Yunus Yosfia di mana menurut kabar bahwa anak pak Lere, Boby Rachman, ada bersama pak Suntono (bapak angkat).
Berikut, pak Paulo menceritakan singkat kejadian tentang pertemuan itu:
“Ceritanya, pak Yohanes, entah tahunnya saya lupa, pernah tugas di Ilomar dan dari situlah anaknya pak brigadir (Lere) dibawa dari hutan. Dan pak Yohanes yang ambil. Kemudian di bawa ke Dili lagi oleh pak Sontono, Kapolda II di TIM-TIM yang kemudian memelihara Boby sampai umur 29 tahuna’, kata Paul.
“Melalui informasi dari pak Yohanes maka pak Yunus lalu menpertemukan antara Pak Lere dan Pak Sontono dengan Bobi di Jakarta”
Lalu apa katat pak Lere?
“Pemerintah Timor Leste dan RI telah mendirikan Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang menghabiskan jutaan dollar Amerika yang tidak menghasil sesuatu langkah kongkrit selain menproduksi kertas laporan semata,” kata komandan Lere.
Tentang anaknya, Boby Rachman, pada saat lahir, Komandan Geriliawan bagian Timur itu memberinya nama Elito.
“Tapi setelah dipelihara oleh pak Sontono, ia diberi nama Gunawan Adi Guna Rachman, dengan nama panggilan Boby,” kata Paul.
Bobi di kirim dari hutan ke kota pada 1981, waktu itu kira-kira berumur 6 hingga sembilan bulan tapi ayahnya (red-Lere) selama di hutan selalu mencari informasi tentang anak ini dan di tahun 1998 beliau berkata kepada Tempo Semanal bahwa dia mendaptkan informasi bahwa anaknya berada di Surabaya.
“Selama tahun ‘99 setelah turun dari hutan, pak Jenderal memang mencari kemana-mana melalui Palang Merah Internacional (PMI), namun tidak berhasil”, tutur pak Paul.
Setelah itu, pak Jenderal (red-Lere) mencari tahu para Jenderal–jenderal indonesia yang pernah bertugas di Tim-Tim”, sambung Paul.
Konsul ini menceritakan sejarah Lere mencari Bobi hinga dapat dan dia berkata, “Yang tahu semua tentang identitasnya itu adalah pak Yohanes, pak Yohanes yang merawat anak ini di kecamatan Ilomar dan bawa ke Dili dan di lapor ke pak Sontono Kapolda II TIM-TIM setelah itu pak Kepala Kepolisian RI di Dili ingin mengambil anak itu untuk dipelihara dan saat itu ada pak Yunus Yosfia yang ikut mengetahui penyerahan Elito kepada pak Sontono”.
Pada tangal 18/06/2010, sore Jam 17.35 Paul da Costa Ximenes meningalkan Konsul Besar Timor Leste di denpasar menuju rumah Bobi Rahman dan Istrinya Cici. Konsul besar Timor Leste di sambut oleh ibu Cici dan ibu angkat beserta ibu Mertua Bobi. Bobi duduk di sebelah kiri Bapak Angkatnya lalu Pak Sonotono memulai cerita tentang pertemuannya yang pertama dengan bai laki-laki dua di wilayah Iliomar pada tahun 1981. Salah satu bay itu sekarang lagi duduk bersebelahan dengan beliau. Pak Sontono mengelus-elus kepala Bobi lalu bercerita tentang pada saat beliau memberitahukan kepada anak kesayangannya bahwa ayah kandung bobi masih hidup. (akan di ceritakan pada Part II)
Sosok Bobi hampir tidak jauh perbeda dengan mantan Wakil komandan Geriliawan Kemerdekaan Timor Leste. Lucunya Bobi dibesarkan oleh seorang Brigadir Polri yang mana anak ini tidak bisa berbahasa Makalero dan Tetun sehinga sulit untuk berkomunikasi langsung dengan Lere.
“Kadang-kadang dengan saya sama pak Lere juga ada saudaranya yang bernama pak Julio kalau tidak salah di bawa kesini untuk membantu menerjemahkan. Anak itu cuma tahunya “maun-maun” saja.
Pada hari mingu, tanggal 20/06/2010 pagi jam 08.00 waktu Bali, Konsul Besar terpaksa mengorbankan hari liburnya ke pantai Kuta demi mengantar Bobi Rahman dan istrinya Cici beserta mantan Brigadir Polri Sontono beserta istrinya yang mantan Polwan untuk naik kepesawat Merpati MZ8480 ke Dili.
Setelah berjabat tangan dan menyampaikan selamat Jalan kepada Bobi, kepada Tempo Semanal di Bandara Ngurah Rai Bali, Paul berkata, “Saya mengantar anak Pak Lere kesini untuk berangkat ke Timor Leste untuk bertemu dengan Bapaknya”.
Wartwan Tempo Semanal berada satu pesawat dengan Bobi dan istrinya beserta kedua orang tua angkatnya.
Di dalam pesawat, entah apa yang mereka bicarakan, Bobi tampak berbisik-bisik dengan bapak angkatnya. Namun, beda dengan sang ibu yang mantan polwan. Entah apa yang sedang dipikirkannya, Ibu Idiawati tampak diam seribu bahasa.
Perjalanan Denpasar-Dili, 1 jam 30 menit. Dan beberapap menit sebelum pesawat mendarat, sang pramugari mengumumpkan persiapan pendaratan, Bobi tampak penasaran bergegas menoleh dari jendela pesawat untuk melihat pemandagan pulau Timor tempat kelahirannya. (Lanjutan ke Part II)


No comments: