Monday, 17 September 2012

Peninggalan Kolonialis harus kembali ke Negara Stop Privatisasi

BY CONSTANCIO Santos
Salah satu persoalan besar yang saat ini sedang dihadapi oleh para orang-orang kaum miskin kota adalah tempat tinggal mereka, kebanyakan dari rakyat kecil yang tinggal di kota tidak memiliki hak atas tanah yang ditempati oleh mereka selama masa pendudukan kolonialis, setelah kemerdekaan rakyat miskin tersebut akan terus  digusur dari tempat tinggal mereka  karena tidak memiliki kekuatan juridik maupun secara ekonomi apalagi tidakmemiliki pengaruh politik terhadap orang-orang berkuasa. Orang-orang yang dekat dengan penguasa dan pemimpin politik lebih memiliki kesempatan untuk kembali menguasai kembali apa yang mereka sebut hak milik atas tanah dan bangunan. Seperti anda lihat sendiri siapa yang menguasai tanah yang luas dikota Dili dan bangunan-bangunan peningalan Kolonialis. Keluarga Carascalao, Keluarga Alktiri, Keluarga Albano Mutin dan Albano Metan.

Sebenarnya penduduk asli ibu  kota Dili adalah orang-orang Suco Karketo dan Mota Ain namun pada jaman kolonialis Portugis karena ketidakmampuan para penduduk tersebut atas pembayaran pajak atas tanah yang luas, kesempatan itu dimanfaatkan oleh orang-orang yang dekat dengan kolonialis. karena kedekatan mereka dengan para kolonialis mereka diberi kesempatan untuk mengunakan tanah dan luas nya ladang sawah sebagai hak pakai. Namun kesempatan tersebut dimanfaatkan dijaman pendudukan Militer Indonesia sebagai hak pribadi itu pun karena  prilaku mereka yang sama kedekatan mereka dengan kolonialis. Mereka diberi kesempatan untuk menguasai beberapa tanah dan bangunan peningalan Kolonialis Portugis. undang-undang yang ditetapkan adalah bertolak belakang cita-cita pencetus revolusi kita ini.

Cita-cita pencetus revolusi kita saat itu di dominasi oleh pemikiran kiri, dan konstitusi pertama kita adalah konstitusi 75 yang betul-betul berpihak kepada rakyat Maubere karena semuanya untuk kepentingan  rakyat. Namun setelah melalui perjuangan yang panjang yang menyebabkan kematian beberapa pemimpin kiri  yang saat itu mendominasi kepemimpinan revolusi kita, dan setiap perubahan yang terjadi dalam organisasi perjuangan kita memaksa kita untuk mengikuti proses perkembangan politik dunia, revolusi kita harus mengikuti proses penyelesaian yang sangat rumit kompleks antara Pemerintahan yang diakui oleh hukum internasional yaitu Portugal dan Indonesia sebagai pencaplok, selain penyelesaian ditingakat diplomatik antara dua negara tersebut, pertemuan antara pemimpin Timor-Leste yang saat itu menentang revolusi politik menuju kemerdekaan.

Proses penyelesaian tersebut menyebabkan terjadinya kemerosotan dalam tubuh organisasi kekuatan kiri kita sampai terjadi pembubaran Komite Sentral FRETILIN dan pembubaran Partai Marxis Leninis FRETILIN serta pembubaran RDTL. Dan perjuangan kita harus berkonsentrasi menuju satu tujuan menuju Referendum mengikuti proses penyelesaian yang telah disetir oleh UN.

Kembali ke proses pembangunan kembali negara dan penetapan kembali dasar-dasar hukum tata negara, negara  kita. oleh karena negara kita saat itu berada di bawah kekuasaan administratif UN yang dengan nama UNTAET dengan pembentukan National Council for Consultatif yang terdiri dari 7 orang pemimpin politik kita termasuk salah satu pemimpin partai socialis Timor yang berideologi Marxist-Leninist, existensi kaum kiri masih sangat mempengaruhi tuntutan terhadap amandamen konstitusi terutama mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan peningalan kolonialis harus kembali ke Negara RDTL yang nantinya akan merestorasikan kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2002. danhal itu tercantun didalam Undang-Undang UNTAET menyangkut  "terras e propriaridade" yang mengatakan semua property yang ditinggalkan oleh pemerintahan kolonialis secara otomatik kembali ke Negara RDTL. Namun setelah pemilihan 2002 untuk pembentukan assembelheia konstituante yang dimenangkaan oleh partai FRETILIN, dan meelakukan tranformasi Assembelheia Konstitunante ke Parlemen Nasional pada tahun 2003 pemerintahan FRETILIN melakukan pengaakuan kembali terhadap "produk undang-undang kolonialis tentang Boleting Oficial".

Apa yang terjadi setelah  pemerintahan kita melalui mayoritas absolut mengakui kembali undng-undang tersebut? lima tahun kemudian terjadi pengucuran di mana-mana seperti apa yang terjadi di Bairo Central, Farol, Bidau Licedere dan Kolmera. Rakyat kecil yang tinggal disana daerah tersebut terpaksa harus keluar dari tempat tinggal mereka karena pemiliknya memiliki dokument resmi peningalan Pemerintah Kolonialis.

Pemerintahan yang pertama adalah pemerintahan yang diharapkan untuk menerus mimpi-mimpi para pencetus revolusi, karena dipimpim oleh pendiri FRETILIN, namun itulah karakter pemimpin kita karena FRETILIN itu sendiri terdiri dari berbagai aliran ideologi mereka yang beraliran Marxist-Leninist, Maois, dan Sosialis - Nasionalis telah gugur dalam medan pertempuran yang masih hidup tinggal beberapa orang termasuk Kay Rala Xanana Gusmao. Kekuatan yang mendominasi didalam tubuh Partai FRETILIN saat itu dan saat ini adalah kekuatan sosial demokrat dan nasionalis oportunis(bukan oportunis terhadap perjuangan kemerdekaan tetapi oportunisme yang dimaksud adalah mereka yang pasif dalam perjuangan kemerdekaan pengorganisasian partai tetapi mendekati diri untuk kedudukan tertentu baik di struktur partai menuju struktur pemerintah). Tindakan tersebut terjadi juga di partai lain seperti CNRT.

Terbentuknya pemerintahan pertama seharusnya menjadi harapan rakyat maubere untuk hidup selayak-layaknya namun harapan tersebut terdampar ketengah lautan karena yang menguasai kepemimpinan partai bukanlah orang-orang yang betul-betul berasal dari kepemimpinan kiri akan tetapi kebanyakan dari sosial demokrat.

Hal itu dapat dilihat dari ketidakberanian mereka melakukan amandamen terhadap konstitusi 75.  Konstitusi yang dibuat setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 28 November 1975, pertanyaan yang akan terus menghantui setiap generasi baru tentang Konstitusi tersebut adalah Dasar-dasar hukum tata negara kita. Dan mengapa kita harus takut kepada diri kita sendiri? Indonesia mengalami hal yang sama ketika mereka memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia RI, tiga kali pemimpin politik Indonesia membuat konstitusi, namun pada akhirnya harus kembali ke konstitusi 45 atau Undang-Undang Dasar 45. Mengapa harus takut? Apakah karena Undang-Undang Dasar 75 tersebut mengharuskan para pemimpin untuk menyerahkan seluruh tanah yang luas kepada negara? Seperti yang dilakukan oleh Pahlawan kita, Pemimpin Besar kita Saudoso  Nicolau Lobato yang menyerahkan seluruh perkebunan kopi yang luas kepada negara RDTL.

Jika ketakutan itu karena Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 75 yang mengharuskan maka tindakan pemimpin Partai FRETILIN yang berikutnya dan pembaharuan undang-undang  pertanahan yang baru  mengakui kembali produk hukum kolonialis Portugis dan Indonesia seperti yang dirancang oleh Menteri Kehakiman Lucia Lobato pada pemerintahan AMP, adalah suatu penghianatan yang tidak bisa dimaafkan. Karena tindakan pengakuan kembali produk hukum kedua kolonialis tersebut bertolak belakang dengan pemikiran pencetus Revolusi kita. Dan tindakan tersebut menyebabkan pengusuran dan penguasaan tanah dan bangunan terjadi dimana-mana dan privatisasi tanah semakin meluas karena Undang-Undang berikutnya memungkin hal yang sama.

Dengan sistem politik yang diterapkan dan kondisi ekonomi demikian keluarga-keluarga yang disebut diatas dan beberapa keluarga yang kita tidak tahu akan memiliki hak pengunaan yang sama menjadi kaya dengan peluang pengakuan undang-undang kolonialis tersebut. Dan rakyat yang miskin kota akan tetap menghadapi ketidakadilan dalam kehidupan mereka. Karena kondisi politik dan ekonomi diset up sedemikian rupa bagi mereka yang memiliki jaringan yang baik dengan pejabat negara akan lebih leluasa menguasai apa yang mereka sebut hak milik mereka yang ditingalkan oleh kolonialis Portugis dan Indonesia. Lihat saja kasus rumah yang saat ini dijadikan kedutaan besar New Zeland yang mendapat intervensi dari Jose Manuel Ramos Horta ketika masih menjabat sebagai Presiden RDTL dan Hotel dan Restorante Vasco da Gama oleh sepupu Menteri Keuangan Emilia Pires dan banyak lagi yang tidak disebut disini.

Disinilah letak kesalahan dan ketakutan kita terhadap apa yang telah lakukan dengan memproklamirkan sebuah negara yang memiliki suatu konstitusi yang progressif untuk membangun bangsa dan negara akan tetapi ketakutan kita akan kaum imperalis. Proklamasi yang sesungguhnya sah dan mendapat pengakuan beberapa negara setelah Portugal gagalnya melakukan proses dekolonisasi menjadi penghianatan terhadap impian para pahlawan kita sendiri.

Dua periode pemerintahan telah kita lalui dengan pemilihan yang sangat demokratis, namun tidak terjadi suatu perubahan yang signifikan dalam pembangunan bangsa. Ekonomi dikuasai oleh orang-orang luar; Indonesia dan warga China, orang-orang kelas menengah yang memilik hubungan baik dengan kekuasaan/pejabat negara akan terus maju, rakyat kecil rakyat miskin yang tidak mampu secara ekonomi akan semakin teralienasi dari pembangunan ekonomi bangsa dengan kebohongan-kebohongan serta pembodohan yang dilakukan oleh politisi individualis. Tidak seorang pun diantara para pemimpin partai politik yang peduli terhadap impian pencetus revolusi 75, generasi baru bangkit dengan semangat perjuangan kiri tapi tidak terorientasi dengan baik, semua orang bebicara tentang sosialisme dan komunisme tapi mereka tidak tahu dengan partai mana mereka bergabung.

Jika mereka yang memimpin Partai Revolusioner adalah orang-orang yang memiliki pemikiran yang progresif maka rancangan undang-undang terhadap Buruh dan Tani serta undang-undang pertanahan pun akan sesuai dengan pemikiran mereka yang progresif dan revolusioner seperti yang telah dilakukan oleh pencetus revolusi 75, akan tetapi 12 tahun telah kita lalui Undang-undang tentang pertanahan hingga saat ini masih dalam pertikaian dan undang-undang tentang perburuhan tidak menguntungkan para Buruh(Trabalhadores).

Dengan kondisi demikian maka setiap yang seharusnya memiliki sebidang tanah untuk membangun menjadi perebutan antara sesama keluarga bahkan sampai terjadi pertikaian antara kakak beradik  seperti yang kita saksikan di berita Radio dan Televisi Timor-Leste - rttl beberapa minggu yang lalu. Mengapa semua itu sampai terjadi demikian? Karena sistem politik negara telah mengarahkan pada kehidupan individualistik/kapitalistik.

Ketika sistem politik demikian maka peradilan akan dikuasai oleh orang-orang yang berduit, bahkan pejabat negara sekalipun dapat dibeli oleh para pemodal, sedangkan rakyat miskin kota akan terus digusur dan kota Dili akan dikuasai oleh orang asing. Karena ketidakmampuan kita secara ekonomi maka tidak ada keadilan hukum bagi orang miskin kota yang ada adalah ketidakadilan karena otoritas negara tidak peduli dengan anda akan hidup diatas trotoar dipinggir jalan "kami datang hanya menjalankan perintah dari pengadilan".

Kita semua tergiur dengan kata Partai historis, kita semua terpaku dengan kata Maun Boot, kita tidak peduli dengan apa yang akan terjadi, hari ini kita memberi suara kita kepada partai historis, hari kita memberikan suara kepada Maun Boot keesokan hari kita digusur, lalu dimana letak keadilan yang sesungguhnya?

Menghadapi situasi demikian hanya ada satu cara, yaitu; Rakyat miskin bersatu turun ke jalan berteriak  STOP PRIVATISASI, KAPITALISME ADALAH DIVISIONISME. REVOLUSI KONSTITUSIONAL MENUJU KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT MISKIN. Para otoritas kekuasaan akan terus mengunakan kata stabilitas nasional untuk mencegah tuntutan kita, akan tetapi jika tuntutan itu dilakukan dengan aksi damai secara massal maka kita akan memenangkan kembali impian pencetus revolusi kita.

Artigu Nee husi Constancio Santos
Constancio_santos@yahoo.co.uk

No comments: