Sunday, 29 January 2012

Paranoid Politik Terhadap Taur Matan Ruak


Oleh: Frei Guterres Maulory II

Pemilihan Umum (pemilu) tinggal dua bulan lagi, sehingga membuat para konstestan dan kelompok-kolompok kepentingan (interest groups) mulai melakukan aksinya. Berbagai estrategi dirancang, mulai dari lobi politik, kritik sampai negative campaign. Tujuannya mengarah pada dua hal, pertama, menarik simpati massa sejak dini guna membangun opini (opinion building) bagi kelompoknya untuk menghadapi pemilu. Kedua, menabur hambatan dari sekarang bagi calon pesaing di pemilu nanti.

Mayor Jenderal Taur Matan Ruak yang berlatar belakang militer menjadi target utama lawan politiknya. Popularitas Taur Matan Ruak dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat . oleh karenanya, menjadi penting bagi lawan politik untuk mendekonstruksi bangunan popularaitas Taur Matan Ruak sehingga mengurangi simpati konstituen nantinya.

Dengan demikian lawan politik manapun mencari berbagai celah untuk dijadikan sasaran kritik bagi Taur Matan Ruak. Kritik yang sentar didengar berhubung dengan latar belakangnya sebagai seorang militer yang dihubungkan dengan pernyataan Taur Matan Ruak diberbagai media nasioanal yang dinilai bahwa Taur Matan Ruak cenderung otoriter bila menjabat sebagai presiden Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) nanti.

Kekahwatira berbagai pihak akan munculnya otoritarianisme baru dan desain institusi setelah melihat Taur yang berpangkat Mayor Jenderal secara resmi mengumumkan pencalonan dirinya sebagai calon predien (capres) Independen untuk periode 2012 - 2017 pada tanggal 10 Oktober 2011 di Mertuto, Ermera. Kekahwatiran lawan politik/politisi dan pengamat karena Taur berlatar belakang militer ikut serta dalam pilpres 2012, dianggap berbagai pihak cukup rasional. Tampaknya di kepala para politisi dan pengamat Timor-Leste berkembang sebuah asosiasi bahwa latar belakang militer identik dengan otoritarianisme (ditadura).

Hal itu bisa dimengerti meski tidak sepenuhnya benar, mengingat selama 24 tahun (1975-1999) Timor-Leste di bawah otoritarianisme Suharto yang berlatar belakang militer. Namun, kenyataan yang terjadi otoritarianisme tidak hanya muncul dari orang yang berlatar belakang militer namun bisa dari sipil. Indonesia pernah dibawa otoritarianisme Ir. Soekarno selama dua puluh tiga (23) tahun, pemimpin yang berlatar belakang sipil. Begitu juga Iraq, selama tiga puluh (30) tahun Iraq hidup dibawa otoritarianisme Saddam Hussein yang memiliki latar belakang sipil dengan partai Baath sebuah partai sosialis di Iraq.

Artinya orang yang berlatar belakang sipil juga dapat menjadi otoriter dan yang berlatar belakang militer bisa menjadi sipil. Di Amerika Serikat, seorang Jenderal bisa berubah menjadi sipil ketika menjadi presiden begitu juga Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menjadi Presiden ia benar-benar menjadi sipil.

Jadi latar belakang dari calon presiden bukan satu-satunya faktor penentu apakah Timor-Leste akan terjerumus ke sistem otoriter atau tidak. Selain pribadi capres, yang juga menentukan apakah sebuah Negara mudah terperosok kedalam otoritarian atau tidak, adalah desain institusi di Negara itu.
Desain institusi Negara Timor-Leste, yakini jenis sistem pemerintahan yang diterapkan dan pengaturan  Sistem Semi Presidensial dalam konstitusi. Keyakinan sebagai ilmuwan politik bahwa sistem Semi Presidensialisme sulit untuk melahirkan sistem otoritarianisme, karena Presiden hanya sebagai simbol seremonial. Meskipun Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata FALENTIL-Forsa Defesa Timor Losete (F-FDTL) namun Presiden tidak leluasa dalam mengambil keputusan tentang masalah pertahanan dan keamanan.

Seperti mengumumkan keadaan perang atau keadaan darurat, pengumuman tersebut mesti dengan persetujuan Parlemen Nasional setelah berkonsultasi dengan Dewan Negara (Konsellu Estadu), Pemerintah dan Dewan Tinggi Pertahanan dan Keamanan (konsellu superior defesa seguransa). Karena dalam sistem pemerintahan semi presidensial, fungsi kepala Negara dipengang presiden dan fungsi kepala pemerintah ada ditangan Perdana Menteri. Berbeda dengan sistem presidensial, kedua fungsi itu dipegang presiden.

Jadi menurut saya, sistem presidensialisme yang cenderung melahirkan otoritarianisme. Karena beberapa ciri khas sistem presidensialisme, seperti konsentrasi kekuasaan yang ada pada presiden, pemilihan langsung presiden dan masa jabatan presiden yang pasti.

Faktor konsentrasi kekuasaan yang membuat posisi presiden amat kuat. Jika dibandingkan dengan sistem semi presidensial. Presiden dalam presidensialisme memancarkan aura kekuasaan amat terang karena dialah yang memimpin ritual kenegaraan  dan mengendalikan pemerintahan. Seorang persiden bagaikan “raja” dalam bunkusan sistem politik modern.

Jadi intinya, kekahwatiran bahwa personalitas individu capres merupakan faktor terpentingnya untuk menilai seberapa besar peluang Timor Leste menuju ke sistem politik otoriter tidak sepenuhnya akurat. Faktor desain institusional yang diterapkan juga memberikan kontribusi yang sama besarnya dengan faktor personalitas capres.

Namun ada politisi yang bereaksi secara negatif bahkan berlebihan. Sejumlah politisi dan pengamat memperlihatkan "kecemasan yang terlampau tinggi" terhadap figur militer. Seakan sulit membedakan "sikap militer" dan “Sipil”, para kritisi tersebut terus-menerus memompa semacam "fobia militer” kecemasan dan ketakutan berlebihan terhadap figur Taur Matan Ruak yang berlatar belakang militer.

Saya cenderung menyebut sikap kecemasan yang mungkin juga menjurus ke arah sejenis antipati ini sebagai gejala "paranoid politik" terhadap Taur Matan Ruak. Mereka mengidentikkan Taur Matan Ruak semata-mata dengan “otoriter, represif, diktator". Idealnya, setiap politisi dan pengamat menawarkan pandangan yang proporsional dan seobyektif mungkin yang menempatkan publik pemilih pada posisi rasional, tidak tergiring ke salah satu sudut ekstrem pandangan tertentu.

Namun wacana dikotomi sipil-militer masuk akal dan berguna jika dilaksanakan secara kritis konstruktif. Untuk bahan mawas diri dan mengambil pelajaran bagi calon presiden. Bersama dengan sikap kritis konstruktif, agar dipahami dan dihormati pula dimensi-dimensi lain dari demokrasi, sistem dan prosesnya. Bahwa akhirnya, lewat pemilu, yakni pemilu presiden secara langsunglah, pilihan dan putusan dibuat oleh rakyat pemilih.

Penulis adalah Mantan Aktivis Klandestin sekarang sebagai Dosen dan Peneliti terhadap masalah Pertahanan Keamanan dan Politik Militar.

Sunday, 15 January 2012

Tempo Semanal Husu Deskulpa ba Leitores

Tempo Semanal, Dili 14/01/2012

Ho haraik aan manajemen ho fungsionariu Tempo semanal foo hatene ba maluk sira katak jornal nee labele emprime tan ba ami hetan krize orsamentu. Iha fulan nee ami haruka ona jornalista balun fila ba uma tan ba ami la iha orsamentu hodi produz jornal no selu kustu operasionais hotu.

Ami nia fundus sofre tan ba klientes sira selu tarde no balun lakohi selu sira nia tusan. Iha 2011 ami gasta orsamentu ne'ebe boot ba produsaun jornal ba instituisaun estadu Timor Leste maibe too ikus rejeita atu selu nunee ami tenke sakrifika ami nia jornalista no klientes sira nia interese.

Ami husi Manajemen sei halo esforsu atu halo moris fali jornal nee iha tempu oin mai. Maibe ami la iha kbiit atu promete bainhira loos maka ami bele hetan osan naton atu bele halao fali ami nia atividade hanesan uluk.
Ba inkonviniente hotu2 atan ami ho haraik aan hakruk ba imi.

A GEURRA DE MANUFAHI (continuação)



 Os acontecimentos ocorridos nos meses de Maio, Junho Julho de 1912.

Durante aquele mês as forças do governo avançavam lentamente sobre o reduto de Cablac. O governador Filomena da câmara dirigia as operações. Nesse período o governo dispunha de 21 oficiais, 463 soldados de primeira linha, 597 moradores e 7.757 auxiliares. Estes provinham dos reinos de Fatomasi, Liquiçá, Maubara e Maúbo. Estas forças estavam colocadas á volta de Cablac, e iniciam o ataque no dia  25 ou 26 de Maio.

Mas os manufaistas conseguiram levar melhor sobre os atacantes que foram repelidos. Do alto das montanhas sucediam-se avalanchas de rochas que resvalavam pelas encostas. Os auxiliares retiram-se em debandada deixando dois mortos atrás de si.  A 27 de Maio quatro colunas apoiadas pela artilharia voltam ao ataque. Da montanha choviam pedras, rochas, flechas e chumbos. Desta vez, as forças governamentais depois de dispararem 405 tiros nos quais foram gastos 20.000 cartuchos,  conseguiram desalojar os “rebeldes”que abandonam o Cablac de Aituto.

Além das forças acima referida, o governo da Colónia contava com a canhoeira a Pátria. Comandado pelo novo comandante Gago Coutinho, o navio largou de Díli, no dia 24, para a costa sul transportando carga, mantimentos, armas e munições para as guarnições que cercavam Leo-Laco, uma das quais era comandada pelo capitão do porto de Díli, 1º tenente Manuel Paulo de Sousa Gentil.

Tinha ancorado no taci mane, em frente de Betano. A presença da canhoeira deu apoio decisivo às tropas em terra, onde se encontrava o 2º tenente Mesquita Guimarães. No dia 27 de Maio, o navio bombardeava Leo-Laco com peças de 100 mm. Embora s marinheiros não vissem os danos causados pelos bombardeamentos, contava-se em Díli, algumas bombas caíram na residência da rainha de Betano, onde estavam reunidos vários datos. Parece que houve vítimas naquela localidade.

No dia 29 de Maio, as forças do governo tomavam Ablai.

O navio fez a patrulha à volta de Betano durante sete dias. No dia 4 de Junho a Pátria regressou a Díli, Entretanto, as forças terrestres iam avençando sobre Riac e Leo-Laco. O capitão Azevedo avançou para as rampas de Caicassa, enquanto o governador descia para Rotuto e Ablai-Dum. O comandante Ramalho realizava rondas  ao norte de Cablac  para garantir a passagem dos arrais para a zona de Hola-Rua.

No dia 4 de Junho os homens de Dom Boaventura abandonaram o acampamento Leo-Mali, em Tarucuamo, lugar que foi imediatamente ocupado pelas guarnições do governo. Tempo depois os portugueses e os seus aliados tomavam o sitio de Tui-Ura. Os diversos destacamentos iam ocupando zonas de Manufahi. Os tenentes Magalhães e Pinto com os arraiais de Liquiçá ocupam Same; O capitão Faure da rosa, à frente dos arraiais de Baucau ocupava Leorai e as regiões mais a sul. No flanco direito de Cablac o tenente Gentil que tinha ido de Suro acabava de acampar em Leo-Lima. No dia 9 de Junho, o governador estabeleceu o acampamento e quartel-general em Raimera.

A região de Raimera era coberta de densa matagal. Ali os manufaistas tinham construído muros de pedra, sebes de bambu e ramos de árvores para impedir a passagem aos malaes. A tomada de Raimera por parte dos portugueses durou três dias. Finalmente no dia 14 de Junho de 1912, o governador conseguiu ocupar Riamera, depois de ter sido apoiado  por um pelotão da 8ª companhia, de oradores e arraias de auxiliares.

Na zona sul, o capitão Faure da Rosa à frente dos moradores de Baucau acabavam de ocupar a região de Turon. Entretanto houve lutas renhidas entre os rebeldes e os moradores. Os “rebeldes” chegavam a atacar de note os postos de Tir-Guer entre Turon e Tir-Ai.
Nos dias 15 e 16 de Junho, as forças do governo punham cerco a Riac que conseguiu resistir até o dia 16 de Julho. Nesse fatídico dia Riac rendeu-se. Foram feitos prisioneiros 4.500 manufaistas. Os valorosos “rebeldes” entregaram 342 espingardas milhares de catanas e azagaias. Mas Leo-Laco continuava inexpugnável! Nesse monte lulic Dom Boaventura iria resistir até Agosto de 1912.

Porto, 13 de Janeiro de 2012.
Dom CARLOS FILIPE XIMENES BELO

Saturday, 14 January 2012

A GUERRA DE MANUFAHI (VII)


Dom Carlos Filipe Ximenes Belo

Como dissemos nas crónicas anteriores que durante os meses de Fevereiro e Março do ano de 1912, estavam decorrer as operações contra o reino de Manufahi.

O avanço das forças governamentais apoiadas por arraiais dos comandos militares ia tornando mais difícil a vida dos timorenses em rebelião. As áreas de Cablac ocupadas pelos “manufaistas” iam-se tornando mais estreitas. Dom Boaventura da Costa, a família e muito povo encontravam-se entrincheirados nas fortalezas de Riac e leo-Laco.

As consequências da guerra eram várias: aldeias abandonadas, casas incendiadas, roubo de gado; abandono de culturas (café, milho e arroz), doenças, fome, e morte. Tanto da parte dos rebeldes como doas forças governamentais havia muitos feridos e dezenas de mortos. Fizeram-se dezenas de prisões. Na Praça de Díli, em 1912, havia mais de 4 mil prisioneiros na cadeia.

Mas, não era só à volta de Cablac que decorriam as operações contra os rebeldes. Na região de Bobonaro as forças do governo realizaram vários “raids” contras as populações. Houve operações à volta de Bobonaro, Atabae, Atsabe, Hatolia e Cailaco. Essas operações tinham o objectivo de eliminar possíveis revoltosos e de impedir a sua passagem até Manufahi. Mesmo assim, os portugueses registaram entre as suas fileiras, 30 mortos e uma centena de feridos.

Sucedeu, então que em vários reinos, sobretudo, da parte ocidental, muitas pessoas começaram abandonaram as suas aldeias, procurando refúgio nos reinos vizinhos ou no território de Timor holandês.

Famílias inteiras de Atsabe, Leimean, Deribate Cailaco dirigiam-se para Memo e para a fronteira. O êxodo destas famílias ocorreu nos dias 9 e 10 de Maio de 1912. Foi nesta ocasião, que o régulo de Memo, Bere-Tali perpetrou o massacre contra os fugitivos, nas margens do rio Malibaca. Segundo o Relatório das Forças da Fronteira, o régulo e os seus homens mataram mais de 100 pessoas, entre as quais 6 chefes. Nos fins de Maio, na povoação de Sadi, no território holandês, havia 2.000 refugiados timorenses.

Conta-se que em Atsabe, as pessoas preferiram morrer de fome e de sede nos seus esconderijos a entregar-se às forças governamentais. Conta-se ainda que os timorenses fiéis ao governo, numa das suas campanhas pelas aldeias, cortaram mais de 300 cabeças aos seus inimigos.

O corte de cabeças era um acto de valentia. Morto o inimigo, a cabeça é decepada e levada para o acampamento. Os acampamentos das tropas em Maubisse estavam enfeitados com cabeças cortadas.

No mês de Abril de 1912, Dom Boaventura escreveu ao governador Filomeno da Câmara apresentando as condições da sua rendição. Mas o malea boot (embot) não fez caso do pedido e continuou a reforçar as suas posições no terreno.

No dia 29 desse mês chegavam a Díli mais reforços. Tinha atracado um navio português que levava a 9ª Companhia de soldados moçambicanos, (seis oficias, 14 sargentos e 233 soldados). Metade dessa companhia seria encaminhada para Suro, via Liquiça, Hatolia e Atsabe.

 

A REVOLTA DE AMBENO (Continuação


Pelo  Dom Carlos Filipe Ximenes Belo

A revolta de Ambeno iniciada pelo régulo Dom João da Cruz Ornai deu-se no dia 22 de Março e não no dia 25, como eu tinha escrito na crónica anterior. Recebia a notícia da revolta em Díli no dia 26 de Março de 1912, o governo decide mandar a canhoeira a Pátria a Oe-Cusse com o objectivo de dominar os revoltosos. Aprontou-se o navio que transportou uma força de 40 soldados moçambicanos e 3 sargentos sob o comando do tenente de infantaria Sérgio Morais e Castro e 31 moradores de Baucau, tendo à frente o alferes Afonso da Costa. Pelas 16.00 horas do dia 28 largava o navio para Pante Macassar. Em Batugadé, embarcaram o tenente Jorge Figueiredo de Barros, comandante militar de Oe-Cusse, o régulo Dom Hugo da Costa, alguns chineses e 25 moradores, todos fugitivos de Pante Macassar no dia dos ataques dos homens de Ambeno. (Na crónica anterior eu tinha dito que o padre António de Morais também tinha seguido para Batugadé, mas cometi um lapso, afinal ele estava em Oe-Cusse).

Tendo o navio a Pátria chegado em frente da vila, viram um beiro a dirigir-se para o navio conduzindo o missionário Padre António Januário de Morais e um timorense que relataram ao comandante do navio factos ali ocorridos.

Entretanto deu-se o desembarque das forças. Os portugueses ao aproximarem-se da terra, foram recebidos pelos “revoltosos” com haklalas e tiros. Pelas setes horas, a canhoeira abriu fogo com as peças de Hotchkiss e fuzilaria.

Da terra, os “ambenos” entre 500 a mil 1.000 homens, respondiam com tiros de espingarda Remington que tinham roubado no posto. Fez-se o desembarque das forças que foram ocupando posições em terra. Na troca de tiros ficaram feridos dois moçambicanos. Do navio fez-se o bombardeamento da povoação. Os moradores iam deitando fogo às casas. Nas matas que cercavam a povoação de Pante Macassar pululavam os “revoltosos”. A rainha de Oe-Cusse e algumas mulheres e crianças procuraram o abrigo no navio.

A “reconquista” de Pante Macassar durou dois dias. Nessa acção empregaram-se bombardeamentos com 10 granadas ordinárias e 10 granadas ordinárias, e 2.600 cartuchos de carabinas. Os portugueses reocuparam a casa do comando. Entretanto generalizou o incêndio pelas restantes casas de Oe-Cusse. Ao meio-dia do terceiro dia, o comandante, acompanhado de dois oficiais foi à terra iças bandeira verde-rubra.
E o que aconteceu a Dom João da Cruz Ornai? Vendo o destacamento de guerreiros ambenos derrotado e desfeito, o liurai tomou o caminho do exílio e foi viver com a sua família na povoação de Lelogama (então território holandês). Em Dezembro de 1912, o governador holandês, no seu périplo por alguns regulados de Timor holandês encontrou ali os irmãos da Cruz Ornay, “homens educados em Dili”. Seria dom João e o irmão? Ou seriam os filhos?

Todo o enclave de Oe-Cusse e Ambeno seria totalmente ocupado depois da guerra de Manufahi, facto que só aconteceu em 1913.

Dom João da Cruz Ornai era filho de Dom Pedro, rei de Tul-Ikan, e neto de Dom Bernardo. Teria nascido por volta de 1888. Em 1907 foi enviado a Soibada, onde fez a instrução primária no Colégio Nun’Álvares, então dirigido pelos padres Jesuítas. Diz-se que em 1908, ele casou com Bi Sani Taeki Meko.

Durante a guerra japonesa (1942-1945), Dom João da Cruz Ornai voltou a Oe-Cusse tentando ocupar o lugar de liurai. Mas as autoridades portugueses não viram bem essa iniciativa, e, relembrando a revolta de 1912, obrigaram-no a regressar a Kefamenanu (TTU) onde viria a falecer  em  1961. Teria 73 anos.

Porto, 11 de Janeiro de 2012.
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo


Tuesday, 10 January 2012

A REVOLTA DE AMBENO (1912)


Dom Carlos Filipe Ximenes Belo

Ao mesmo tempo que decorria a campanha contra o reino de Manufahi, no dia 25 de Março de 1912, começava em Ambeno uma revolta chefiada pelo régulo Dom João da Cruz Ornay. Os motivos dessa revolta? Eram vários e complexas. Mas a principal razão era a maneira pouco prudente como foi tratado o régulo de Ambeno pelo comandante de O-Cusse.

Conta-se que o liurai tinha uma irmã que se dizia formosa e prendada pela educação que recebera no Colégio das Irmãs canossianas em Dili. Aconteceu que o sargento dos moradores de Lacló, em serviço em Pante Makasar, apaixonou-se pela irmã do régulo e pediu-lhe em casamento. Dom João Ornay não concordou com essa proposta e, mandou castigar uma criada que servia de intermediária na troca de “cartas de amor” entre a princesa e o sargento. Sabedor do facto o comandante militar chamou ao comando Dom João Ornay e repreendeu-o diante de outros chefes e ameaçando-o com palmatoadas e prisão. “O régulo conservando-se calado, ouviu-o e chorou; levado o incidente ao conhecimento dos demais chefes, deliberaram todos tirar vingança”.

Aconteceu que o sargento Manuel Carlos Rodrigues (malae) se encontrava em Nucheno (actual Padiai). Os timorenses descobriram-no a descansar numa casa. Os homens de régulo amarraram-no com um cordas e, em seguida torturaram-no até à morte. O sargento depois de ter sido amarrado, “o régulo sentou-se em cima dele e, com uma pedra, foi-lhe partindo os dentes e a cara, passando depois a cortar-lhe os dedos dos pés e das mãos que distribuíram uns pelos outros, ao mesmo tempo que exclamavam: - este era o dedo que me dava bofetadas, este o que me dava pontapés, mas agora já não nos dão mais!

A seguir, cortaram-lhe os outros membros, até que morreu no meio de horroroso sofrimentos”. Era o dia 25 de Março de 1912.

Horas depois, Dom João Ornay saiu a encontrar-se com o segundo malae o sargento João Bernardino que ia a caminho de Oe-Cusse. “Ao vê-lo convidou-o a apear-se do cavalo para ir ver um porco gordo que tinha acabado de matar”. “O sargento não queira demorar-se mas acedeu ao convite. Apenas se apeou passaram-lhe uma corda ao pescoço para o prenderem, despiram-no e mataram-no pelo mesmo processo, apesar dos rogos e das súplicas das vítimas. Foi feito em bocados, conservando-lhe a cabeça, á qual arrancaram o coiro cabeludo para fazerem estilo.” [1]
Depois destes crimes, Dom João Ornay dirigiu-se ao comando militar do posto de Wine (Timor Holandês) e pediu auxilio. Quando o comandante lhe perguntou o que queria, o régulo respondeu” Fazer guerra até morrer”. O comandante holandês concordou com a ideia do régulo e até lhe disse mais: “se não se aguentar com eles, e precisar, acolha-se aqui”. O comandante convidou ainda o missionário de Oe-Cusse, padre António Januário de Morais para se acolher na região de Hau-Mene.[2]

Os homens de Ambeno conseguiram entrar no reino de Oe-Cusse obrigando o Régulo Dom Hugo da Costa, o comandante militar, o tenente de infantaria Jorge de Figueiredo de Barros, dois europeus e alguns chineses e 25 moradores a fugirem num beiro para Batugadé.

Por causa destes factos, o governo português tomou a decisão de enviar ao enclave a canhoeira Pátria para repor a ordem e a soberania.


[1] Jaime do Inso, Timor-1912, p. 84.
[2] Idem, p. 85.

Porto, 9 de Janeiro de 2012.
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo

Saturday, 7 January 2012

A GUERRA DE MANFAHI – 2ª Fase – continuação


Pelo Dom Carlos Filipe Ximenes Belo

A segunda fase ou o segundo período da guerra durou cerca de quatro meses (Fevereiro a Junho).

Os “rebeldes” tinham atacado várias povoações com o intuito de travar o avanço das forças do governo. Nalgumas zonas por eles controladas haviam recolhido mantimentos, bens e gado no alto nas serras (fohon tutun).

O governador Filomeno da Câmara e os seus homens estavam decididos em avançar para Cablac combatendo os rebeldes no seu terreno. Mas devido à configuração do terreno e à existência de vários grupos de rebeldes espalhados pela região, foi preciso fazer primeiro o reconhecimento do terreno. As forças governamentais avançavam para Cablac em três frentes. Da zona Leste, com arrais comandados pelo capitão José Faure da Rosa; da zona oeste, os arraiais sob o comando do tenente António Valente de Almeida; da zona norte, o próprio governo e o seu quartel-general.

Nos dias 28 e 29 de Fevereiro e no dia 1 de Março de 1912, o reconhecimento do terreno foi efectuado pelo batalhão do Tenente Almeida e do padre Manuel Alves Ferreira, missionário de Maubara. Perto de Maubisse, travou-se o combate e uma bala inimiga tirou a vida ao padre Ferreira. O padre expirou às duas de madrugada do dia 2 de Março.

No dia 3, sai de Soibada, o destacamento do capitão Faure da Rosa ia exploras as regiões de Terás. Nesse destacamento ia como voluntário o padre Manuel Laranjeira, missionário de Soibada.

Entretanto na zona norte, o governador ordenava o reconhecimento das regiões de Manucate, Hatobessi, Maulau, Lequidoe e Turiscai.

No dia 7 de Março realizou-se a exploração das regiões de Manucate. Nesse tempo os rebeldes dominava as povoações de Tumau e Hatobessi. No dia 15, as forças governamentais fazem assalto ao monte de Tumau. Nesse monte os timorenses tinham levado para lá todos os seus bens, incluindo o gado: búfalos, cavalos e cabritos. Pela força das armas, os rebeldes foram obrigados a sair dos esconderijos deixando para trás muitos animais. Os moradores dos arraiais apoderaram-se de 112 búfalos e de alguns cavalos.
No dia 25 de Março, as tropas de capitão Faure da Rosa, depois de renhido combate, ocupava Fatu-Boi (Fatu Boe).[1] Nesta campanha as forças governamentais eram formadas por arrais de Samoro sob o comando de Liria Vidal Sarmento, e os arrais de Vemasse, Laleia, Cairui. Luna de Oliveira descreve assim Fatu-Boi, depois dos combates: “Fatu-Boi, posição naturalmente inexpugnável, sulcada em sucessivas linhas defensiva, biseladas na rocha, atravanca de arvoredo frondoso, era um cemitério ao ar livre. O cheiro pestilento, mal inumados empestava o ar. Cabeças dos mortos espreitavam á flor da terra, tal fora a pressa com que os enterraram” (Luna, III, p. 122). Depois dessa acção as forças tomaram sem dificuldade Dotic e Sarim[2]. O chefe do Suco Laca-Dala-Nai sucumbiu ao combate. A cabeça foi decepada e levada ao acampamento dos malae como troféu. Nesse período ocupou-se Fatuberliu. No mês de Abril de 1912, as regiões a leste de Same estavam submetidas (Alas, Bibiçuço).

Na zona oeste alguns reinos estavam em rebelião. O reino de Cailaco persistia na rebelião e tentava seduzir outros reinos, como o de Atabai, o régulo Bere-Talo. Contra Bere-Talo, o capitão Fonseca Cardoso, comandante militar de Batugadé organizou uma campanha que decorreu entre os dias 3 e 10 de Março. O destacamento comandado pelo sargento Humberto Maria Fernandes era composto por 35 moradores.

Na zona sul (Suro) o destacamento composto por 50 soldados, 2 voluntários e 107 moradores controlavam as regiões de circunvizinhas à vila não impedindo a incursão dos “manufahistas.”

Entre os dias 17 e 27 de Março Atabai era atacada pelas forças do Capitão Fonseca Cardoso. Nessa operação participaram 456 homens: soldados do esquadrão de cavalaria da fronteira, soldados moçambicanos e um pequeno arraial de moradores de Balibó. Os rebeldes de Cailaco não queriam render-se pois declaravam que preferiam morrer nas montanhas e nos rios do que serem portugueses.
           
Em Manufahi, Dom Boaventura da Costa Souto Maior sentia-se mais isolado pois não recebeu mais adesões de novos reinos. Os seus homens, além de continuarem em sentinela nas zonas fronteiriças, iam consolidando as fortificações de defesa em Riac e Leo-Laco.

Mas na segunda metade do mês de Março de 1912, o governo viu revoltar-se Dom João da Cruz Hornay, régulo de Ambeno. A revolta de Ambeno será o tema do capítulo a seguir.

Porto, 6 de Janeiro de 2012.
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo


[1] Fatu Boe, povoação pertencente ao suco de Fatu Cahi, Sub-Distrito de Fatuberliu.
[2] Sarim, povoação pertencente a Alas e fazia baliza com o rio (mota) Clere.

Friday, 6 January 2012

A EDUCAÇÃO PARA O RESPEITO DOS DIREITOS HUMANOS


Pelo Bispo, Carlos Filipe Ximenes Belo

A educação para Paz é um processo que deve mostra outra visão da guerra com o fim de evitar que o fenómeno bélico seja considerado como algo normal e inevitável. A educação para paz não é tanto atingir objectivos literários ou científicos mas para formar a pessoa nos valores éticos.

Em 1974 a conferência geral da UNESCO publicou uma recomendação sobre a educação para a compreensão e educação relativa aos direitos do homem e às liberdades fundamentais. A Organização das nações unidas proclamou em 1994, a década para a Educação dos Direitos Humanos (1994-2004). Apesar de todos estes apelos da ONU, muitas violações de direitos humanos continuam a registar-se no mundo. Assistimos ao longo de décadas a ocorrência de guerras, prisões torturas, violência doméstica, discriminação racial, étnica e religiosa. Em várias partes do mundo continua a haver o comércio de seres humanos, a destruição do meio ambiente, exploração abusiva de recursos naturais.

É urgente gritar bem alto neste século XXI, é preciso respeitar os direitos humanos! É urgente educar as crianças, os jovens e os adultos para o respeito dos direitos humanos. Para que no mundo não haja mais guerras, exploração do homem pelo homem, descriminação sob todas as formas, são urgentes e importantes programas de educação para os direitos humanos.

A educação para os direitos humanos consiste no conhecimento, na informação, aprendizagem e na prática do respeito pelos direitos de cada pessoa e de cada povo. Só assim podemos ter um mundo mais humano, mais fraterno e mais pacífico.

Em primeiro lugar importa conhecer o que são os direitos humanos. Direitos humanos são direitos inerentes à natureza humana, anteriores e superiores aos ordenamentos políticos e jurídicos de qualquer Estado e que são reconhecidos na actualidade por todos os regimes democráticos. Fala-se de direitos fundamentais do homem, porque procedem do mais profundo da condição humana e deles derivam sucessivamente outros. Os direitos humanos, além de serem fundamentais, são universais, invioláveis e inalienáveis.

Os direitos humanos são universais, porque estão presentes em todos os seres humanos, se excepção alguma de tempo, do lugar e sujeito. São invioláveis enquanto ‘inerentes à pessoa humana e à sua dignidade, e porque seria em vão proclamar os direitos se simultaneamente não fizéssemos esforços a fim de que seja devidamente assegurado o seu respeito por parte de todos e em toda a parte e em relação a quem que seja. São inalienáveis, enquanto ninguém pode legitimamente violentar a sua natureza. Estes direitos hão-de ser tutelados não só em cada um singularmente, mas no seu conjunto.

Para uma melhor compreensão dos direitos humanos, podemos agrupá-los de seguinte modo:
  1. Direitos do homem (e da mulher) como ser vivo: direito a nascer (todo o indivíduo tem direito à vida); direito à integridade física e psíquica (ninguém será submetido à tortura); direito à alimentação, vestuário, à habitação, repouso, assistência sanitária. 
  1. Direitos como pessoa humana: direito ao desenvolvimento físico, afectivos, intelectual, moral, artístico e religioso. Direito á estima, ao respeito à fama, direito a ser livre (direito á liberdade9, direito à igualdade).
  1. Direitos como ser familiar: direito a constituir família; direito á educação dos filhos; direito á estabilidade, independência e intimidade da família e do casal.  
  1. Direitos do homem como cidadão: direito à participação na vida pública; direito à liberdade de reunião e associação; direito á manifestação e difusão de pensamento; direito à informação verídica sobre os acontecimentos políticos; direito ás justiça. À segurança física e à defesa dos seus direitos; direito à liberdade de domicílio dentro e fora do país. 
  1. Direitos do homem como trabalhado: direito ao trabalho, direito à qualificação técnica e profissional; direito á retribuição justa (remuneração equitativa e satisfatória); direito à participação na vida da empresa; direito a condições de trabalho, direito a não ser desempatado no caso de desemprego forçado, direito ao descanso. 
  1.  Direito como ser religioso (art. 18).
Entretanto sabemos todos que os nossos direitos acabam onde começa o direito das outras pessoas. Daqui a importância da educação para personalizar os próprios deveres. Deveres de respeitar os pais, os professores, as autoridades, as diferenças de género, de cultura, de religião, de raça, etc. Os direitos e os deveres são como que as duas faces da mesma moeda. Não existem direitos exclusivos. Onde há direitos há deveres. No campo da proclamação dos direitos haverá sempre deveres correspondentes.

Porto, 5 de Janeiro de 2012.
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo

XANANA MEMILIH: Taur atau Lasama?


Filipe Rodrigues Pereira*)
Kampanye untuk pemilihan Presiden Republik (PR) di Timor-Leste masih beberapa bulan lagi, akan tetapi kampanye terselubung untuk saling menjatuhkan satu sama lain sudah mulai terasa sejak beberapa bulan lalu hingga saat ini. Serangan antar pendukung figur presiden yang dicatat memanas di media massa pada akhir tahun lalu dipicu oleh sebuah artikel yang ditulis oleh sdr. Jose Maria Guterres dengan judul “TL-1 dan Berkah Xanana Gusmao” yang pada intinya menyatakan bahwa PR pada 2012 mendatang adalah figur yang memperoleh berkah dari Xanana Gusmao, dan figur tersebut diyakini sdr. Jose Guterres adalah Taur Matan Ruak.
Menanggapi artikel sdr. Jose M. Guterres tersebut diatas muncul sebuah artikel tanggapan dari sdr. Joanico Moreira yang membantah keyakinan Jose M. Guterres, bahwa Xanana belum tentu memberkahi Taur dan jika diberkahipun belum tentu Taur bisa menang karena Xanana hanya memiliki satu suara, tidak lebih dari itu. Meskipun sdr. Morreira menyepelehkan Xanana, yakni dengan mengatakan Xanana hanya memiliki satu suara, tetapi pada bagian lain artikelnya sangat terkesan sdr. Morreira mengharapkan pula berkah Xanana kepada Fernando Lasama, hal ini tersirat  pada kalimat-kalimat yang menghubungkan kedekatan Fernando Lasama dan Xanana di masa lalu, loyalitas Lasama kepada Xanana. Juga, dapat dilihat pula pernyataan seperti, apabila Xanana ingin memerintah lagi pada 2012 maka perlu mendorong kandidat dari tubuh AMP. Di sini terkesan sdr. Morreira memiliki pandangan yang mendua, satu sisi menyepelehkan eksistensi politik Xanana dengan mengatakan Xanana hanya memiliki satu suara tetapi pada sisi yang lain mengharapkan sekali dukungan Xanana pada Lasama de Araujo untuk menjadi PR pada 2012.
Penulis ingin menyatakan bahwa menghargai Xanana dengan satu suara (um voto) dalam perpolitikan Timor-Leste adalah pandangan yang ‘menyesatkan’, terlalu menyederhanakan masalah. Adalah keliru jika hanya menghitung satu suara yang dimiliki Xanana pada saat Pemilu, perlu memandang Xanana sebagai sebuah totalitas, pengaruh dan kekuasaanya dalam konteks sosial-politik Timor-Leste. Hal mana diakui oleh Dr. Mari Alkatiri pada berbagai kesempatan bahwa stabiltas nasional Timor-Leste sangat ditentukan oleh Fretilin dan Xanana, bukan CNRT. Jadi ketokohan Xanana diakui oleh pemimpin oposisi. Juga ketokohannya diakui pula oleh beberapa fungsionaris PD sendiri, bahwa PD sampai dengan saat ini masih hidup dalam bayang-bayang Xanana. Mungkin saja PD sewaktu mendukung Ramos-Horta pada putaran kedua pada Pemilu 2007  karena pengaruh atau faktor Xanana atau karena faktor lain, bukan karena keinginan murni kepemimpinan PD.
Dan, ke depan PD akan tetap bersama Xanana atau tidak akan tergantung pada kedua belah pihak. Apakah masing-masing pihak masih ingin mempertahankan komposisi aliansi/koalisi seperti AMP saat ini?! Akankah AMP akan tetap solid dan berlanjut pada 2012?! Atau dengan pengalaman yang ada pada AMP maka Xanana atau PD ingin beraliansi dengan partai di luar AMP aktual?!
Berkaitan dengan perihal aliansi, sdr. Armindo Mauk-Sun Guterres sebagaimana dalam artikelnya yang dipublikasikan Forum-Haksesuk mengatakan bahwa lebih rasional apabila Xanana dan CNRTnya mendukung Lasama sebagai PR pada 2012 karena PD akan memiliki kursi signifikan di Parlemen, tentu dimaksudkan jika suara CNRT tidak memadai maka PD yang akan menopangnya.  Pertanyaannya, apakah Taur akan duduk diam dalam pemilihan legislatif jika Xanana dan CNRT mendukung pencalonannya?! jangan-jangan dalam Pemilu legislatif Taur malah menyeruhkan pendukungnya untuk memilih CNRT?! Atau telah ada ancang-ancang bahwa dengan melihat kondisi Xanana yang kurang sehat maka ke depan CNRT akan meminang Taur untuk memegang pucuk pimpinan CNRT?! Hal ini bisa saja terjadi karena di satu sisi Taur dalam ‘kampanye’ PRnya terlihat sangat peduli untuk mengubah sesegera kondisi ekonomi masyarakat, mereformasi birokrasi dan hal-hal lain yang menjadi wewenang pemerintah, di sisi lain kepemimpinan Taur nantinya pada pucuk pimpinan CNRT diyakini beberapa pihak dapat mengimbangi kekuatan partai Fretilin ke depan.
Mengikuti perkembangan perpolitikan Timor-Leste menjelang pemilihan PR 2012 maka orang selalu ingin mengetahui Taur telah memperoleh dukungan politik dari siapa saja, dan Xanana ada di pihak mana. Dari pengamatan Penulis, sementara ini Taur diyakini masih menjadi yang terkuat sehingga tudingan dan serangan pada dirinya datang bertubi-tubi. Salah satu tudingan yang dialamatkan pada Taur adalah datang juga dari sdr. Armindo Mauk-Sun Guterres yang pada intinya mengeksplor kekurangan Taur. Misalnya, Taur dinilai calon presiden yang alergi akan kritikan, deskriminatif. Akhir bulan Desember 2011 muncul lagi satu artikel tanggapan dari sdr.  Alfredo Mau-Redo Ramos da Silva (Mau-Redo) atas kedua artikel yang ditulis oleh sdr. Morreira dan Mauk-Sun. Artikel Mau-Redo ini membeberkan apa yang disebutnya sebagai kelemahan dari Presiden Partai Demokrat, Fernando Lasama.
Sebelum masuk pada ulasan lebih lanjut, yang menggelitik penulis adalah mengapa ketiga rekan yang menulis artikel menyangkut Taur dan Lasama sebagaimana tersebut diatas tidak menampakkan diri apa adanya, namun bersembunyi dibalik nama-nama palsu?! Mengapa ketiganya tidak berani menampakkan diri?! Apa gerangan?! Ketiganya masih memiliki hubungan keluarga dengan Taur dan Lasama?! Atau karena ketakutan akan analisis yang disampaikan kurang atau tidak sahih?! Atau karena Taur maupun Lasama adalah orang-orang “angker” yang tidak siap dikritik itulah yang menjadi penyebabnya?! Kritik atas Taur dan Lasama di republik ini akan mendatangkan kematian?! Atau ketiganya ingin mendapatkan rasa nyaman dimana saja, nyaman di samping Taur dan enak di sisi Lasama?!
Soal Taur alergi  atas kritik, dalam beberapa hal penulis memiliki pula pandangan bahwa sampai dengan saat ini Taur belum saja terbiasa dengan dunia politik orang sipil. Kehidupan Taur sebagai panglima tentara yang selalu hidup dalam garis komando selama 30tahun membawa dirinya bersikap reaktif menghadapi perbedaan pandangan sebagaimana kasus Manuel Tilman beberapa bulan lalu.  Namun adalah berlebihan jika muncul kekawatiran bahwa nantinya Taur akan berusaha menutupi mulut orang-orang yang mengkritik dirinya jika terpilih menjadi PR. Menurut Penulis, Taur bukan seorang yang anti demokrasi. Dalam kepemimpinannya, F-FDTL secara baik dan elok mendundukkan diri pada supremasi sipil. Hanya saja dalam krisis politik-militer 2006 lalu F-FDTL yang dipimpinnya tercoreng, tetapi itupun karena usaha orang-orang sipil, termasuk beberapa politisi yang ikut memperalat institusi militer dan polisi. Perlu dicatat, meski diterpa krisis politik-militer pada 2006 lalu, dengan sikap nasionalisnya Taur tidak jatuh dan mencoba mengkudeta pemerintah yang dipilih secara demokratis pada pemilu pertama republik ini. Menyangkut sikap Taur yang reaktif dan dinilai beberapa pihak sebagai figur yang tidak siap dikritik, disarankan ke depan Taur dapat  membentuk kelompok diskusi kecil yang selalu siap sparing atau berdebat, mendiskusikan semua hal, dengan demikian dapat membantu mengantarnya masuk pada dunia politik orang sipil yang sebenarnya.
Menyangkut sentimen regionalisme-etnik yang dikaitkan pada Taur, Penulis ingin menyatakan bahwa meski sebuah kebetulan tetapi Taur telah menunjukkan secara nyata lewat dirinya, ia telah menyatukan kedua wilayah Lorosae-Loromonu dalam darah dagingnya, yakni melalui anak-anaknya. Itulah keutuhan nyata Timoris yang ditunjukkan Taur melalui keluarganya. Bukti bahwa Taur memiliki semangat Timoris yang utuh ditunjukkan pula melalui kasus Abilio Mausoko. Sebagaimana diketahui bahwa pada krisis politik-militer 2006, Abilio Mausoko dengan kelompoknya menyerang kediaman Taur. Tetapi apa yang terjadi, di pengadilan sewaktu Abilo Mausoko diadili, Taur datang memberikan kesaksian meringankan dan membuka pintu maaf bagi terdakwa Abilio. Begitu pula dengan Major Alfredo Reinaldo (almarhum), sampai kematian menjemputnya almarhum masih menganggap Taur sebagai panglimanya, maka tidak ada alasan untuk mengaitkan Taur dengan sentimen etnik.
Berbicara dukungan Xanana akan diberikan kepada Lasama atau kepada Taur pada pencalonan PR 2012, selain tergantung pada alasan politik sebagaimana telah disampaikan oleh sdr. José M. Guterres, sdr. Joanico Morreira, sdr. Mauk-Sun Guterres dan sdr. Alfredo Mau-Redo dalam artikel mereka pada tahun lalu, Penulis juga ingin mengingatkan bahwa bisa saja alasan kemanusiaan seorang Xananapun akan ikut menentukan siapa yang akan didukungnya. Xanana bisa saja mengatakan, Lasama, kamu telah saya antar menjadi Presiden Parlemen Nasional pada 2007 lalu, kini izinkanlah saya untuk membantu mengantar kakakmu, Taur Matan Ruak untuk menjadi Presiden Republik pada 2012.*** End**

*) Observador Politika no Sosial, Sobrevivente husi Komite 12 de Novembro, Dosente iha Programa Postgraduasaun, Unpaz, Dili.


 

A GUERRA DE MANUFAHI


PRIMEIRA FASE DA GUERRA

Para a grande revolta de 1911 e 19112, o Régulo Dom Boaventura havia estabelecido contactos com vários reinos: Atabae, Atsabe, Cailaco, Deribate, Ermera, Matata, Punilala, Suai, Leimean, Bibuçuço, Alas, Turiscai, Lequidoe, Raimean, Suai, Cová, etc.

No mês de Janeiro de 1912, várias povoações revoltaram-se abertamente contra o governo. Fontes portuguesas falam de levantamentos em Manucate, Lequidoe, Hatobessi, Fatuboro, Babulo, Tumau, Babulo, Loto-Po, Alas, Leolima, Aituto. Os combatentes de Manufahi e seus aliados, exibiam a antiga bandeira azul branca (da Monarquia portuguesa), ao passo que as forças governamentais exibiam a nova bandeira, verde-rubra, adoptada pelo novo Regime republicano.

O governador Filomeno da Câmara prevendo um levantamento geral, toma a iniciativa de ocupar Aileu e Maubisse para travar o avanço dos rebeldes sobre a Praça de Díli.

O dia 5 de Janeiro de 1912 marcou o começo das operações contra os rebeldes Manufaistas. Nesse dia, o tenente António Joaquim de Almeida encontra-se em Suro para defender aquela povoação e rechaçar os ataques dos rebeldes de Manufahi. No dia 6, teve de regressar a Hatolia, porque tinha começado uma rebelião chefiada pelo antigo régulo D. António, que foi morto no local. Em meados de Janeiro, o tenente Almeida reúne um contingente formado por um oficial, seis sargentos, dois soldados europeus, 260 moradores e cinco voluntários europeus e auxiliares de Deribate, Maúbo, Maubara e Fatumasi. Nesse contingente incorporou-se o missionário de Maubara, o padre Manuel Ferreira.

No dia 12 daquele mês parte o primeiro contingente de forças governamentais para Aileu sob o comando próprio governador. No dia 17, os revoltosos pretendem atacar Aileu, mas denunciados pelo chefe do suco de Saboria, Brás, são rechaçados. No dia 19, registam-se combates entre “revoltosos” e moradores fiéis ao governo, nas balizas de Bibiçuço. Foi preciso mobilizar contingentes de Alas, Betano e Manufahi, para combater os rebeldes naquela zona. Desse combate em Bibiçuço, registaram quinze mortos do lado dos “revoltoso e 2 do lado do governo.

Para dominar Bibuçuço, o governo mobilizou 2.950 combatentes de Vemasse, Laclubar, Samoro, Laleia, Cairui, Ossú, Ossoroa e Venilale. Os arraiais governamentais eram comandados por um alferes e um sargento e marchavam ostentando a bandeira real portuguesa. 

A 31 de Janeiro libertam as zonas circundantes da Missão de Soibada. A 4 e 5 de Fevereiro esses arrais fizeram tal chacina, que segundo um cronista, o massacre dos rebeldes dava para encher um rio.

Por outro lado, na zona de Ermera, na povoação de Umboe, o comandante de Hatolia, António de Almeida Valente conseguiu dominar uma revolta que eclodiu naquela zona matando 66 rebeldes. Almeida Valente recebe ordens do governador para marchar com todas as suas forças sobre Aileu. Parte para Aileu a 29 de Janeiro mas antes disso, reforça a defesa de Ermera, Hatolia e Atsabe com guarnições que reuniam mais de 340 moradores.

Nos princípios do mês de Fevereiro de 1912, o governo reuniu em Aileu oito oficiais, 51 soldados da 1ª linha, 14 voluntários, 364 moradores e 2070 timorenses (irregulares). Provavelmente a 1 ou 2 de Fevereiro, as forças governamentais marcharam m sobre Lelai e no dia 3 fizeram escalada em Rai-Rema. Resultados Dos combates travados entre os “revoltosos e forças leais ao governo: Da parte dos timorenses revoltoso, registaram-se 360 mortos e 320 feridos, Da parte do governo, houve 24 mortos e 33 feridos.

Porto, 4 de Janeiro de 2012.
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo


 A GUERRA DE MANUFAHI – SEGUNDA FASE

Prevendo o avanço das forças governamentais e as movimentações dos arraiais de moradores da 2ª linha que iam chegando à região de Manufhai, Dom Boaventura manda os seus homens controlar os todos os acessos ao monte Cablac e às colinas de Riac e Leo-Laco. Nesse sentido os timorenses em rebelião armados de catanas, diman e algumas espingardas estabelecem postos de vigia nos altos dos montes e colinas, nas encruzilhas dos caminhos, e ao longo de regatos e rios. No alto das serras os “revoltoso” tinham amontoado pedras e pedregulhos para lançarem sobre os malaes e seus aliados quando avançassem por aqueles carreiros. Foi assim que as tropas governamentais tiveram algumas baixas e o próprio governador Filomeno da Câmara ficou ferido chegando ao ponto de ser capturado na zona de Aituto. Num dos recontros os manufaistas apoderaram de um canhão das forças governamentais.

Nesse início de guerra os nativos conheciam os recônditos das localidades: grutas, buracos, precipícios, ravinas, curvas e contra-curvas. Ao divisarem a aproximação do inimigo, utilizavam códigos para se comunicarem com outros: Essa comunicação consistia nos assobios, sopro de chifres do búfalo e através de fogueiras. Por outro lado os male muitn e seus aliados avançavam com dificuldade no terreno. Os meses de Janeiro, Fevereiro e Março eram a época de chuvas. Havia enxurradas e deslizes de terra; nevoeiro na zona de Cablac era intenso e o frio arrepiante. A viagem tinha de ser feita a pé ou de cavalo. Na altura ainda não havia carros de combate, nem camiões ou unimogues.

O Governador sabia que não era fácil chegar a Same para repor a soberania e ordem e prender o régulo de Manufahi. Por isso, além de ordenar o alistamento de moradores de todo o território, pediu ajuda ao Governo de Lisboa e de Macau.

Como resultado dessa diligência, no dia 6 de Fevereiro chega a Díli a canhoeira Pátria sob o comando do tenente Jaime Inso. No dia 11 do mesmo mês desembarcou em Díli a Companhia Europeia da Índia que transportada a bordo do navio inglês St. Albans. A força consistia em três oficiais e 75 soldados, dos quais 35 eram europeus, sendo o restante contingente composto por jovens mestiços da índia e goeses. Estes soldados indianos foram expedidos no dia 13 para Manatuto, onde o capitão José R. Fuare de Rosa os constitui em coluna com 66 moradores e 647 homens dos arraiais de Vemasse (450) Laleia e Cairui. Os moradores, de Baucau comandados pelo Liurai Freitas de Vemasse já tinham avançado para Bibuçuço nos meados de Janeiro.

No dia 15, chegava a 8ª Companhia Indígena de Moçambique (malae metan) que desembarcou do navio inglês Aldehanam. Era comandante desta Companhia Capitão Jaime Ramalho. O governador destinou 50 homens para Suro.  

Com este reforço, a 22 de Fevereiro de 1912, as forças portuguesas eram assim constituídas:

1. Quartel General: 13 oficiais, 34 soldados, 375 moradores e 2.300 auxiliares;

2. Contingente da Zona leste, com a sede em Manatuto: 5 oficiais, 67 soldados, 2 voluntários, 41 moradores e 1.800 auxiliares.

3. Contingente da Fronteira: na zona de Batugadé e Balibó. Um oficial, 14 soldados e 11 moradores. Estas forças atacaram Atsabe desde o dia 18 de Fevereiro até 21 de Março.

4. Contingente de Oeste: incluía as zonas de Bobonaro e Hatolia. O contingente era formado por dois oficiais, 66 soldados, 368 moradores e 2.000 auxiliares. Nessa zona lutou-se ferozmente.

5. Dispositivo de Díli: a canhoeira Pátria, um oficial, 50 moçambicanos e um número indeterminado de moradores.

6. Dispositivo de Ermera: moradores locais e voluntários de Baucau e Manatuto.

No dia 22 de Fevereiro Filomeno da Câmara à frente de dispositivo de Quartel-general estabelece o acampamento em Maubisse. Projectava-se o avanço para sul, em direcção a Cablac e Same. Na zona oriental, com o avanço das forças governamentais algumas povoações que tinham aderido à revolta foram-se submetendo às autoridades: Turiscai, Bibuçuço, Alas, Dotic.

Porto, 5 de Janeiro de 2012.
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo