Pemilu merupakan instrumen agar proses pemilihan pemimpin berlangsung secara demokratis dan lebih baik. Pemilu, dalam konteks modern dianggap sebagai instrumen inti menseleksi pemimpin yang terbaik.
Memang ada mekanisme seleksi pemimpin yang lain, misalnya mekanisme kedinastian seperti pada kerajaan yang menggunakan sistem keturunan, ada juga yang hanya melalui penunjukan beberapa orang saja.
Tetapi didalam negara modern yang demokratis Pemilu dianggap sebagai mekanisme seleksi pemimpin yang terbaik, terlepas dari adanya kekurangan-kekurangan dalam proses pelaksanaannya, karena di dalam Pemilu itu asumsinya adalah semua orang punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih, suaranya pun sama.
Tetapi didalam negara modern yang demokratis Pemilu dianggap sebagai mekanisme seleksi pemimpin yang terbaik, terlepas dari adanya kekurangan-kekurangan dalam proses pelaksanaannya, karena di dalam Pemilu itu asumsinya adalah semua orang punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih, suaranya pun sama.
Di dalam Pemilu ada satu prinsip yang disebut dan disingkat “OPOVOV“ (one person, one vote, one value artinya satu orang, satu suara, satu nilai). Sekalipun ada seseorang yang memiliki jabatan tinggi dalam struktur pemerintahan, atau mungkin ia adalah seorang pengusaha besar dengan kekayaan dan modal yang besar pula, mereka tetap memiliki nilai yang sama suaranya dengan seorang buruh tani, buruh, pabrik, kuli bangunan, ataupun klas rakyat miskin lainnya. Atau bahkan seseorang yang memiliki posisi strategis/khusus dalam suprastruktur budaya masyarakat misal tokoh/pemuka agama, tokoh adat yang kharismatik dan memiliki ribuan pengikut proses pemberian suara dalam pemilu tidak berbeda dengan pengikutnya yakni tetap dihitung satu suara.
Inilah konsekwensi seleksi pemimpin yang diserahkan kepada masyarakat, artinya setiap orang diangggap sama, setiap orang berhak menentukan siapa pemimpin yang terbaik. Jadi karena itu, demokrasi sekarang ini dianggap sebagai suatu mekanisme yang terbaik. Disamping itu, Pemilu juga dipandang sebagai mekanisme perebutan kekuasaan secara damai, karena didalam Pemilu sudah disebutkan siapa yang akan dicalonkan, prosedurnya seperti apa, dan ada wasitnya. Ini yang membedakan dengan proses pergantian rezim pada masa lalu melalui prjuangan bersenjata untuk perebutan pemimpin. Jadi Pemilu dianggap sebagai instrumen memilih pemimpin secara damai walaupun faktanya ada pemilu yang berlangsung tidak secara damai.
Sebuah konsekwensi logis yang harus dipahami dan dijalankan oleh semua pihak, baik dari jajaran para elite atau massa rakyat. Setelah perjalanan panjang perjuangan revolutioner rakyat Timor Leste untuk berdiri sebagai sebuah bangsa dalam kerangka negara yang demokratis, merupakan tugas besar untuk benar-benar dapat menegakkan prinsip dan cita-cita rakyat atas perjuangan revolutioner itu sendiri. Menegakkan setegak-tegaknya sistem demokrasi rakyat dalam sebuah Republik Demokrasi Timor Leste.
Hal ini haruslah dicerminkan dalam kesatuan ucapan dan tindakan, bukan hanya sebagai simbol yang seolah-olah agung dalam redaksional dan teori pemikiran para tokoh, tapi juga harus terwujud secara konkrit dalam lapangan praktik.
Tentu kita juga tidak menginginkan Negeri ini kembali ke jaman lampau dalam himpitan penindasan dan pengekangan demokrasi bagi rakyat, karena apa yang hari ini ada adalah jerih payah keringat dan darah rakyat dalam masa-masa perjuangan revolusioner dulu, demokrasi adalah hak rakyat, suara rakyat, dan harus dijalankan sepenuhnya oleh dan semata-mata demi kepentingan rakyat.
Maka dari itu kita harus paham apa hakikat dari demokrasi itu sendiri, baik dalam lapangan teoritik maupun dalam lapangan praktik.
Secara epistimologi, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata (dêmos) "rakyat" dan (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena.
Seperti halnya pandangan Aristoteles ketika memperkenalkan demokrasi pertama kali sebagai bentuk pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Atau seperti halnya dalam pidato Abraham Lincoln (dalam pidato Gettyburg-nya) yang mendefinisakan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan, yang dalam pengambilan keputusannya didasarkan atas perolehan suara terbanyak.
Dalam pendekatan filosofispun ini adalah tepat, dimana kwantitas akan menentukan kwalitas, dimana rakyat yang mayoritas akan memiliki kedaulatan sepenuhnya dengan kesadaran mereka dan bukan dengan pengarahan-pengarahan atau mekanisme pembodohan oleh segelintir orang elit dalam cara apapun.
Dalam relaitanya penegakan sistem demokrasi ini memang sungguh tidak mudah. Bahkan dalam momentum panggung demokrasi sekalipun (pemilu), dimana masih sering kita jumpai praktik-praktik yang menyalahi seistem demokrasi, dan dengan demikian berarti menyalahi dan mengkhianati kehendak dan pandangan massa (rakyat). Berbagai bentuk penggiringan suara untuk kandidat tertentu, intimidasi, kekerasan, atau bentuk-bentuk kecurangan yang lain, yang justru pada akhirnya merugikan rakyat dan segenap bangsa di negeri sendiri.
Dalam catatan sejarah panggung demokrasi rakyat Timor Leste, selama musim pemilihan Presiden dan pemilihan Legislatif, publik Timor-Leste tidak jarang harus menyaksikan adegan saling melukai dan saling membunuh di antara para pendukung partai politik, perusakan gedung-gedung pemerintahan, pembakaran rumah-rumah warga dan berbagai bentuk anarki lainnya.
Sebagaimana yang terjadi pada pemilihan umum tahun 2007 yang lalu di Distrik Baucau, Vikeke, Dili dan Ermera. Pemilu merupakan arena kontestasi demokrasi yang ditandai oleh mobilisasi berbagai sumber daya (modal) kekuasaan. Sumber daya kekuasaan dalam bentuk jejaring sosial, kultural, sampai sumber daya ekonomi yang menjadi generator dinamika konflik pemilihan umum.
Pengalaman Pemilu 2007 diyakini oleh sebagian besar masyarakat bangsa Timor Leste sebagai pemilihan yang banyak menimbulkan kerusuhan yang telah menelan korban jiwa dalam masyarakat. Situasi yang demikian ini tentunya bukanlah cita-cita kita Rakyat Timor Leste, dan bukan pula cerminan dari kehendak para pendahulu kita yang berjuang dengan gagah berani dalam garis revolutioner untuk memerdekan negeri ini.
Semua persoalan ini merupakan problem kita bersama, yang harus kita selesaikan dengan senantiasa memegang teguh prinsip historis perjuangan massa dalam cita-cita revolusi, memegang teguh prinsip mengedepankan kepentingan massa rakyat, memegang teguh prinsip demokrasi yang sepenuhnya untuk rakyat, bukan demokrasi yang manipulatif.
Menghadapi pemilu 2012 ke depan tentu segalanya harus disiapkan dengan sangat cermat dan penuh kehati-hatian. Mulai dari perelengkapan teknis, aturan main hingga mental dalm etika berpolitik yang demokratis. Secara struktural, bisa jadi semua aspek sudah mulai disiapkan oleh lembaga atau badan yang telah dibentuk oleh pemerintah, terutama yang berkaitan dengan masalah teknis.
Persoalan teknis bisa jadi lebih mudah untuk dipantau karena lebih bersifat fisik dan vulgar, sekalipun keluputan-keluputan dalam prosesnya seringkali harus kita hadapi yang tak jarang pula kesalahan dalam aspek ini dapat mengakiabatkan ekses yang tidak sederhana.
Satu hal yang jarang mendapatkan perhatian cukup serius dalam tahapan menjelang pemilu adalah soal demokratisasi pemilu itu sendiri. Tak jarang dijumpai berbagai macam upaya yang inkonstitusional untuk menggiring opini publik pada calon tertentu. Termasuk salah satunya adalah penggiringan suara dengan cara melakukan klaim dan propaganda atas perolehan suara sebelum pemilu itu sendiri dilaksanakan.
Unsur ”unpredictable result” adalah bagian yang sangat penting dalam menjaga kemurnian opini publik sampai pemilu itu benar-benar dijalankan hingga proses penghitungan suara resminya diumumkan. Artinya pemilu dianggap demokratis jika hasil pemilu tidak bisa diprediksi atau diketahui hasilnya lebih dini. Karena walaupun aturannya jelas, tetapi hasil Pemilunya mudah diketahui itu namanya tidak demokratis.
Berkaca pada sejarah ketika masih terintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada zaman Orde Baru, sudah jelas siapa pemenangnya, bahkan siapa yang akan jadi Walikota, Bupati, Gubernur sudah diketahui sebelum anggota DPRD melaksanakan rapat paripurna khusus untuk memilihnya, karena yang dapat restu dari elit tertentu, maka dapat dipastikan itulah yang akan menjadi pemenang, dan kita sama-sama sepakat bahwa yang demikian itu adalah praktik yang tidak demokratis.
Melihat kembali prinsip-prinsip demokrasi dalam panggung politik pemilu, setiap kontestan (partai peserta pemilu) juga memiliki peran dan posisi yang sangat penting dalam menjaga panggung politik yang dianggap demokratis itu benar-banar dapat berada dalam rel demokrasi demi kepentingan rakyat.
Partai dapat kita ibaratkan sebagai perahu yang akan membawa massa rakyat menuju cita-cita mereka, mengarungi samudera dengan berbagai tantangan dan rintangan. Sekali lagi bahwa partai adalah perahu, apabila perahu itu ternyata tidak dapat membawa para penumpang (rakyat) menuju cita-cita mereka maka sudah barang tentu perahu itu telah menjerumuskan massa yang mereka bawa menjauh dari harapan dan cita-cita massa rakyat itu sendiri. Itulah kenapa penting bagi setiap Partai untuk membuat progaram yang bercermin pada kepentingan rakyat, dan sanggup menjalankannya dengan konsekwen.
Begitu juga dengan posisi antar partai yang menjadi kontestan peserta dalam pemilu 2012 mendatang di Timor Leste. Batas-batas rel demokrasi harus benar-benar diperhatikan dan di pegang teguh. Pembangunan opini publik untuk melakukan pembatasan ruang demokrasi rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilu mendatang, termasuk juga pembatasan ruang demokrasi bagi rakyat untuk menentukan pilihan obyektif mereka merupakan tindakan yang telah mengkhianati sistem demokrasi itu sendiri. Sungguh sangat ironis apa bila di Republik Demokrasi ini harus dikotori dengan pengekangan dan penghalang-halangan bagi rakyatnya untuk memnentukan pilihannya dalam panggung politik ke depan. Hal yang demikian itu telah mengkhianati prinsip negara dalam konteks Republik Demokrasi. Lebih dalam lagi, ketika kita merujuk pada makna demokrasi yang didasarkan atas kehendak rakyat, oleh dan untuk rakyat, maka tindakan-tindakan yang demikian itu berarti telah mengkhianati rakyat sebagai subyek sekaligus obyek utama dalam menjalankan dan menegakkan demokrasi.
Pengalaman masa lalu termasuk momen pemilu 2007 harus dapat kita ambil sebuah kesimpulan sebagai pelajaran bersama terutama bagi kalangan elit, bahwa janganlah sekali-kali kita menciderai kepercayaan massa rakyat, janganlah kita sekali-kali menjerumuskan massa dalam kebimbangan, yang pada akhirnya hanya akan membuahkan benturan-benturan secara horisontal yang merugikan rakyat itu sendiri.
Kita harus ingat bahwa tujuan kita adalah untuk membangun negeri, musuh kita adalah Imperialisme yang merongrong negeri kita tercinta, dan bukan sesama rakyat yang telah bersusah payah memerdekakan negeri ini.
Maka tindakan-tindakan yang menciderai dan mengekang demokrasi di negeri ini, terutama dalam momen menjelang pemilu 2012 mendatang sama sekali tidak dibenarkan. Antar partai peserta pemilu harus paham betul batas-batas itu, dan sekali lagi masing-masing harus sadar posisi dan peran mereka untuk membawa rakyat di Republik ini menikmati bunga-bunga revolusi.
Sekian;
Oleh : Melio alias Lerek
Penulis adalah Mantan Perwira Militer F-FDTL, kini menjabat sebagai Sekjen Partai Milenium Demokrat Timor Leste.
1 comment:
nice ssob,,
Post a Comment