Oleh George Junus Aditjondro
Betulkah Libya terancam perang saudara, setelah massa oposisi b.rhasil membentuk pemerintahan sementara di Benghazi, di sebelah timur Tripoli? Betulkah oposisi terhadap sang diktator hanya terpusat di Libya Timur, sementara rakyat di bagian Barat negeri itu kompak mendukung Kadhafi? Lalu, nanti setelah Kadhafi berhasil dilengserkan, struktur sosial apa yang dapat dipakai untuk membangun kembali negeri kaya minyak itu, di mana belum ada partai politik serta organisasi masyarakat sipil yang kuat, seperti al-Ikhwanul Muslimin di Mesir?
Di sinilah letak perbedaan antara Libya dan kedua negara tetangganya, Tunisia dan Mesir, di mana rakyatnya telah lebih dulu menggulingkan diktatornya. Kunci perbedaannya terletak di konfigurasi antara 140 suku, marga (clan), dan keluarga besar di negeri padang pasir yang kaya minyak itu.
Seperti dikemukakan sejumlah peneliti dari London School of Economics, Study and Research Center for the Arab and Mediterranean World, Al-Ahram Center for Political and Strategic Studies di Kairo, serta majalah Der Spiegel di Jerman, keberlangsungan rezim Kadhafi, sangat tergantung pada balance of power di antara suku-suku itu. Soalnya, suku Ghadafa dari mana Kadhafi berasal, hanyalah satu suku kecil dari bangsa Berber yang berpola hidup Badawi (bedouin) yang termasuk penduduk asli Afrika Utara. Demi eksistensi politiknya, suku Ghadafa berkoalisi dengan suku-suku yang lebih besar, khususnya suku Magariha, yang paling lama dan paling erat hubungannya dengan rezim Kadhafi selama empat dasawarsa pemerintahan sang diktator.
Suku ini merasa berhutang budi pada Kadhafi, yang telah mengusahakan pembebasan seorang anggota suku ini, Abl Basst al-Mgrahi, dari penjara di Scotlandia karena keterlibatannya dalam pemboman pesawat Pan Am di Lockerbie. Kendati demikian, banyak anak muda suku ini ikut demo-demo anti-Kadhafi di Libya Timur dan Selatan.
Sementara itu, oposisi terkuat berpusat di Benghazi, basis suku Warfalla yang berjumlah sejuta jiwa, seperenam dari seluruh penduduk Libya. Ini suku terbesar di antara 20 suku yang banyak jumlah warganya, dan tadinya dipercayai oleh Kadhafi untuk mengisi aparat keamanannya. Namun suku ini yang pertama berbalik mendukung oposisi.
Perwira-perwira suku ini sudah pernah sebelumnya memberontak terhadap Kadhafi di tahun 1993, karena merasa dianaktirikan oleh sang diktator, yang hanya memberikan mereka posisi-posisi no. 2 di korps perwira Libya.
Selanjutnya, Misurata adalah suku terbesar di Libya Timur, yang juga berpusat di kota-kota Benghazi dan tetangganya, Darneh. Suku ini juga sudah bergabung dengan oposisi.
Kuatnya gerakan oposisi di Libya Timur tidak berarti suku-suku di Libya Tengah dan Barat masih setia mendukung Kadhafi. Sheikh Faraj al-Zuway dari suku Zuwaya (= al-Zawiya) di kawasan Libya Tengah yang kaya minyak, sudah mengancam akan memotong pipa minyak ke Libya Barat serta jalur ekspor minyak Libya, kalau kekerasan terhadap para demonstran tidak dihentikan.
Sebelumnya, suku Tuareg yang semi-nomadis dari Libya Selatan, sudah bergabung dengan gerakan oposisi.
Akhirnya perlu dicatat peranan suku-suku di perbatasan Libya dan Mesir, yang mendukung perjuangan saudara-saudara mereka di Libya dengan bantuan tempat tinggal sementara yang aman, obat-obatan, susu onta, dan makanan. 2 juta orang itu, yang hidup dari beternak onta dan bertani gandum, melon, dan buah zaitun, juga berjasa menangkap seorang kaki tangan Kadhafi yang datang ke Kairo untuk menyewa pesawat untuk menerbangkan tentara bayaran yang disewa Kadhafi untuk menembak mati para demonstran.
Tinggal tentara bayaran serta pasukan khusus Libya yang dikomandani oleh putera-putera Kadhafi, sebagai ‘tameng hidup’ bagi sang diktator , setelah hampir semua kepala suku yang besar-besar, menegaskan oposisi mereka terhadap Kadhafi.
Dukungan kepala-kepala suku, marga, dan keluarga-keluarga besar itulah, selama 40 tahun sangat diandalkan oleh anak Baddawa pelaku kudeta tak berdarah tanggal 1 September 1969. Ia rangkul mereka dengan uang serta jabatan-jabatan strategis di militer . Tapi kini mereka buktikan mereka tidak bisa dibeli, dan satu per satu berbalik menentang sang diktator.
Milisi Galaksi
Cara merangkul dan memecah belah suku-suku di daerah-daerah yang bergolak, juga dikenal di negeri kita. Terutama di daerah-daerah di mana ada gerakan bersenjata yang berusaha memisahkan diri dari NKRI. Di masa DOM di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), aparat keamanan membentuk milisi pro-NKRI dengan merangkul suku Gayo di seputar Danau Laut Tawar, yang termasuk rumpun Melayu Tua, berbeda dengan mayoritas penduduk Aceh yang termasuk rumpun Melayu Muda. Bahasa, seni tari dan seni rupa orang Gayo pun berbeda dari orang pesisir.
Selain suku Gayo dan Alas, yang kini menghuni Kabupaten-Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Luwes, organisasi milisi bernama Galaksi (Gayo, Alas, Sigli – seharusnya Singkil, GJA) juga merangkul transmigran dari Jawa, serta segelintir orang Aceh asli yang anti-GAM.
Setelah perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah RI di Helsinki, Galaksi bubar, tapi teror terhadap para caleg PA (Partai Aceh, eks GAM) mnjelang pemilu legislatif 2009 masih dijalankan oleh PETA (Pembela Tanah Air), dan dipimpin oleh Bupati Bener Meriah, Ir. Tagore Abubakar. PETA dengan dukungan aparat bersenjata berusaha menyabot kesepakatan damai di Helsinki, dengan memperjuangkan pemekaran NAD dengan dua provinsi baru, satu meliputi daerah asal suku-suku Gayo dan Alas, dan satu lagi meliputi kabupaten -kabupaten di pesisir Barat NAD.
Namun sampai saat ini, provinsi NAD masih tetap dapat dijaga persatuannya, dan pengaruh PETA tidak seberapa. Menurut sumber penulis, PETA hanya berhasil merangkul 5% orang Gayo. Selebihnya orang Jawa dan orang Aceh asli. Jadi walaupun anggota PETA tersebar dari Tanah Gayo sampai pesisir Barat Aceh, usaha pemekaran kedua provinsi baru itu, untuk mementahkan hasil-hasil kesepakatan damai di Helsinki, 15 Agustus 2007, sampai saat ini tidak berhasil.
Makanya sebaiknya, para pendukung strategi memecah belah suku-suku di seluruh Nusantara, belajar dari kegagalan Moammer Kadhafi di Libya.
Penulis adalah pengajar di Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang sejak 2007 meneliti rekonstruksi NAD pasca-tsunami dan pasca-Helsinki.
Notte: DR. Aditjondro asked Tempo Semanal to publish this article. He said it has published by Suara Pembaruan, Rabu, 2 Maret 2011
No comments:
Post a Comment