Monday, 22 November 2010

Freeport tidak patuhi Undang-Undang Otsus kekerasan terus meningkat di Papua

Tempo Semanal, Jayapura, 22.11.2010

PT. Freeport Indonesia belum menjalankan amanat UU Otsus untuk membayar pajak pertambangan umum pada Pemerinah Propinsi Papua. Pemerintah pusat di Jakarta masih terus mengklaim atau merampas hasil dari Freeport. Sementara UU Otsus mengamanatkan bahwa setiap perusahaan pertambangan umum, seperti PT Freeport Indonesia, wajib membayar pajak bagi hasil sumber daya alam sebesar 80 persen kepada Propinsi Papua.

Sumber terpercaya di Timika mengungkapkan bahwa sampai dengan saat ini Freeport hanya membayar pajak bagi hasil sumberdaya alam sebesar 18 persen atau sekitar Rp 500 miliyar saja. Padahal seharusnya 80% atau sekitar Rp.6 Triliun sesuai dengan amanat Otsus. Hal ini kemudian dibenarkan oleh Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem. Dalam Rapat Evaluasi Kinerja Dinas Pendapatan Daerah se Papua di Hotel Sheraton di Timika pada 7 Oktober 2008, Alex Hesegem mengatakan bahwa pihaknya sudah mengusulkan untuk menaikkan pajak bagi hasil dari pengelolaan sumberdaya alam kepada Pansus DPR-RI dan pembahasannya sudah selesai. Namun belum ada realisasinya, sehingga pemerintah provinsi akan terus berusaha melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat, supaya hak provinsi Papua bisa didapatkan sesuai apa yang diamanatkan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Wagub Papua menegaskan bahwa namanya undang-undang itu harus dipatuhi, bukan malah dipolitisir lagi sehingga daerah yang bersangkutan tidak mendapatkan haknya.

Wagub Alex Hesegem pun berharap ada dukungan masyarakat supaya perjuangan untuk mendapat kan pembagian pajak 80% dari hasil sumberdaya alam dapat tercapai segera. Wagub menegaskan bahwa pajak ini sangat diperlukan karena royalty dari Freeport Indonesia yang mengambil hasil dari Tanah Papua itu hanya Rp.400 sampai dengan Rp.500 milliyar per tahun. Menurut Wagub, sikap pemerintah pusat yang masih terkesan mempermainkan pemerintah daerah, karena semestinya sudah harus berlaku sejak tahun 2002 yang lalu atau terhitung diberlakukannya UU 21/2001.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Berry Nahdian Forqan menyatakan, ”Kekerasan, pengrusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial telah menjadi.

Kekerasan di Papua sudah sejak lama terjadi, misalnya yang paling terbaru, satu hari sebelum kedatangan Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono di Jayapura minggu (21/11), kekerasan aparat keamanan kembali terjadi di Wamena, Papua. Delapan warga sipil itu adalah 1. Meki Tabuni 2. Oskar Kolago 3. Pius Wandikbo 4. Kalialoma Ning 5. Akius Ginia 6. Emina Wenda (wanita) 7. Ali Yikwa 8. Andius Ginia. Para warga sipil ini di tangkap karena hendak melakukan protes atas salah satu teman mereka yang pernah disiksa aparat keamanan meninggal dunia.

Kondisi delapan warga tersebut sementara kritis akibat akibat disiksa Polisi sejak ditangkap. Satu diantaranya wanita. Mereka adalah Meki Tabuni, Nes Wenda, Oskar Kolago, Pius Wandikbo, Kalialoma Inggibal, Emina Wenda, Andius Ginia dan Dani Tabuni.

Kapolres Jayawijaya AKBP Igede Sumerta Jaya, membenarkan penangkapan tersebut. Namun menurutnya tidak ada penyiksaan terhadap warga sipil ini. (TS: John Pakage- Papua)

No comments: