Kontribuitor TS Indo-Keputusan politik penggabungan Tanah Papua waktu itu di kenal dengan Nederlands New Guinea, menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak tahun 1963, ternyata masih belum menghasilkan kesejahteraan, kemakmuran dan pengakuan Negara terhadap hak-hak dasar rakyat Papua.
Kondisi masyarakat Papua secara ekonomi, sosial politik dan Budaya masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan fakta yang ada benar-benar menyulitkan rakyat tak berdaya, sehingga pada (8/7) baru-baru ini dengan digelar Demo besar-besaran yang bertemakan Gagalnya Otonomi Khusus dengan dikembalikan Otonomi Khusus (OTSUS) ke Jakarta di depan Parlamen Papua, Jaya pura. Pada kesempatan yang sama para pendemo dengan membawa berbagai spanduk yang cu-kup menarik dengan tulisan “OTSUS Gagal Hak Hidup Rakyat Papua Terancam” dan masih ada lagi tulisan spanduk yang sifatnya mengeritik pemerintahan pusat guna secepatnya mencari solusi dengan jalan menyelenggarakan Referendum, jika hal ini tidak digubris oleh pemerintah Indonesia keadaan semakin rumit jadinya.
Kondisi masyarakat Papua secara ekonomi, sosial politik dan Budaya masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan fakta yang ada benar-benar menyulitkan rakyat tak berdaya, sehingga pada (8/7) baru-baru ini dengan digelar Demo besar-besaran yang bertemakan Gagalnya Otonomi Khusus dengan dikembalikan Otonomi Khusus (OTSUS) ke Jakarta di depan Parlamen Papua, Jaya pura. Pada kesempatan yang sama para pendemo dengan membawa berbagai spanduk yang cu-kup menarik dengan tulisan “OTSUS Gagal Hak Hidup Rakyat Papua Terancam” dan masih ada lagi tulisan spanduk yang sifatnya mengeritik pemerintahan pusat guna secepatnya mencari solusi dengan jalan menyelenggarakan Referendum, jika hal ini tidak digubris oleh pemerintah Indonesia keadaan semakin rumit jadinya.
Disisi lain dapat disimpulkan bahwa keadaan ini sangat jauh berbeda dan mencolok dibandingkan dengan keadaan kesejahteraan yang dinikmati oleh sebagian besar saudara-saudaranya di Propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Selain itu, persoalan-persoalan mendasar yang berkaitan dengan penegakkan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Sebaliknya secara kasat mata masih terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan hal ini diindikasikan oleh adanya pengingkatan hak kesejahteraan rakyat Papua. Kesemua masalah-masalah kemanusian yang mendasar ini hingga saat ini masih belum ditangani dan diselesaikan secara adil dan bermartabat. Hal-hal tersebut diatas sesungguhnya merupakan suatu ironi, karena di dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945, dengan tegas dinyatakan antara lain bahwa tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ‘Penduduk Papua dan orang asli Papua yang sesungguhnya mempunyai hak untuk menikmati kesejahteraan sebagaimana termaktup dalam alinea ini. Keadaan ini mengakibatkan munculnya berbagai sikap dan pernyataan ketidakpuasan yang hampir menyeluruh di Tanah Papua dan diekspresikan dalam berbagai bentuk. Banyak diantara ekspresi-ekspresi tersebut dihadapi dengan cara-cara kekerasan dengan menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Pelanggaran HAM tidak jarang menjadi warna penyelenggaraan pembangunan di Papua. Puncaknya adalah semakin banyaknya rakyat Papua yang ingin melepaskan diri dari NKRI se-bagai salah satu alternatif untuk memperbaiki kesejahteraan diri sendiri. Dengan bergulirnya Reformasi di Indonesia membuka pintu bagi timbulnya berbagai pemikiran baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa Indonesia.
Untuk kasus Papua, wakil-wakil Rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR-RI) menetapkan perlunya memberikan status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya (Tanah Papua) sebagaimana yang diamanatkan TAP MRP RI No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 Bab IV huruf (g) Point 2.
Amanat tersebut kemudain diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 21Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008.
Dengan demikian jika semua pihak mendukung pelaksanaan Otonomi Khusus ini secara konsisten dan konsekuen dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk mewujudkan isi Otonomi Khusus ini, dalam kerangka Hukum dan intregritas NKRI, maka sesungguhnya akan banyak masalah dapat diselesaikan. Pemberian kepercayaan kepada rakyat Papua seperti yang maksudkan tersebut adalah satu langkah awal yang positif dan signifikan dalam rangka membangun kepercayaan rakyat Papua kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kokoh bagi penyelesaian tuntas berbagai permasalahan di Tanah Papua.
Hal lain yang menjadi soal adalah pemahaman Otonomi Khusus bagi Papua haruslah di artikan secara tegas dan jelas sejak awal, karena telah terbentuk berbagai pemahaman yang negatif mengenai otonomi dikalangan rakyat Papua.
Pengalaman jelek yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang juga memperlakukan Daerah Papua sebagai status Daerah Otonomi, merupakan alasan penting adanya sikap negatif dikalangan rakyat Papua.
Mencermati perkembangan dan dinamika sosial masyarakat di Papua pada dewasa ini, ternyata muncul masalah-masalah baru seiring dengan pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua. Walaupun semula Undang-Undang Otonomi Khusus dimaksudkan sebagai solusi (pemecahan) atas berbagai masalah di Tanah Papua. Namun demikian ternyata Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan sebaliknya justru muncul kebijakan-kebijakan yang saling kontradiktif serta munculnya friksi-friksi baru dikalangan masyarakat Papua sendiri sebagai akibat sikap ambivalensi dan ambiguitas Pemerintah dalam pelaksanaan OTSUS maka telah menimbulkan kesan yang kuat bahwa ternyata pemerintah sendiri tidak mempunyai niat baik (goodwill) dan juga tidak mempunyai kemauan politik (Politicalwill) dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua. Indikasi kuat mengenai adanya ketiadaan niat baik serta ketiadaan kemauan politik tersebut dapat dilihat antara lain dari adanya kenyataan sebagai berikut.
1. Lahirnya Provinsi Papua Barat yang tidak melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001( vide Pasal 76).
2. Pengangkatan Anggota DPRP sebanyak 11 orang/Kursi yang berasal dari Orang Asli Papua tidak dilakukan sampai sekarang (vide Pasal 6 dan Pasal 28UU 21/2001 dihubungkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2010).
3. Pemilihan Kepala Daerah dalam hal ini Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota di Tanah Papua yang mengabaikan hak-hak orang asli Papua untuk diutamakan dalam rekrutmen jabatan politik tersebut (Pasal 28H UUD 1945, Pasal 20 ayat (1) huruf f dan Penjelasannya, Pasal 28, Pasal 62 ayat (2) dan Pasal 71 UU 21/2001 dihubungkan dengan SK MRP Nomor 14/MRP/2009).
4. Peraturan pelaksanaan UU 21/2001 dalam bentuk Perdasus/Perdasi yang belum disahkan sampai
sekarang (vide Pasal 75 UU 21/2001) dan dalam pembentukannya mengabaikan prinsip transparansi, partisipatif dan akuntabilitas.
5. Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 melalui PERPU Nomor 1Tahun 2008 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 yang tidak sesuai dengan mekanisme dan prosedur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (vide Pasal 76).
6. Pembentukan Daerah Otonom baru oleh Pemerintah Pusat yakni pembentukan Provinsi Papua dalam hal ini Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Selatan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 sebagai dasar pembentukan Daerah Otonom baru tersebut meskipun UU 45/1999 sudah tidak berlaku lagi karena dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan Putusan Mahkama Konstitusi Nomor 1/2004.
7. Dikeluarkannya RUU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Provinsi Papua Barat Daya.
8. Pembentukan provinsi baru di Tanah Papua yang tidak sesuai dengan UU/21/2001.
Daftar diatas adalah gambaran sepintas tentang permasalahan-permasalahan yang sekaligus merupakan fenomena sosial di Tanah Papua dengan kekinian perkembangan sosialpolitiknya, yang perlu disikapi secara kritis dan bijaksana sehingga tidak berkembang menjadi masalah krusial yang kemudian menjelma menjadi konflik sosial terbuka baik secara vertical maupun secara horizontal.
Betapapun juga berbagai masalah sosial yang terjadi di Tanah Papua harus ditangani dan diselesaikan secara baik dan bertanggung jawab serta secara bermartabat dan berperikemanusiaan.
Harus dicatat bahwa dalam menanggapi kenyataan sebagiamana diutarakan diatas masyar-akat Papua dalam hal ini masyarakat sipil Papua mencoba melakukan berbagai pendekatan dalam rangka mencari solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi dalam era pelaksanaan Otsus di Papua.
Alternative solusi yang dilakukan antara lain dalam bentuk kegiatan ilmiah tapi juga dalam bentuk lain berupa penyampaian aspirasi secara damai kepada instansi atau lembaga penyelenggara pemerintahan di Provinsi Papua.
Penyampaian aspirasi damai dari masyarakat tersebut dalam beberapa waktu terakhir ini demikian intens dan hal ini dapat dilihat antara lain dari adanya pernyataan aspirasi yang berlangsung sejak tanggal 18 Mei sampai dengan tanggal 20 Mei 2010 yang lalu baik yang berlangsung di DPRP dan kantor Gubernur Provinsi Papua tetapi juga tidak terkecuali aksi damai yang dilakukan di kantor MRP,dilanjutkan dengan penyenggelan kantor MRP oleh masyarakat sipil Papua.
Berpangkal tolak dari realitas sosial tersebut, MRP sebagai lembaga Negara di daerah yang diberikan tugas dan wewenang serta tanggungjawab untuk ikut menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam rangka otonomi khusus demi terwujudnya masyarakat Papua yang maju sejahtera dan adil dalam wadah NKRI,
memandang perlu melakukan suatu forum mediasi untuk mendengar dan menampung serta memfasilitasi aspirasi masyarakat terkait dengan perkembangan sosial politik dan kemas-yarakatan di Tanah Papua dewasa ini.
Forum tersebut diharapkan akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan atau stakeholder, dengan begitu dapat dijaring sebanyak mungkin aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat khususnya pemangku kepentingan yang kemudian akan disalurkan melalui wadah-wadah resmi yang ada baik di tingkat Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan sampai kepada Pemerintah Pusat dan Lembaga-lembaga Negara terkait.
Forum ini juga sekaligus merupakan forum dimana MRP akan memberikan penjelasan mengenai berbagai hal yang telah dikerjakan selama ini terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai lembaga Negara di Daerah yang mempunyai fungsi sebagai lembaga cultural orang asli Papua.
Dan ini sekaligus sebagai bentuk kongkrit pertanggung jawaban MRP khususnya pertanggungjawaban moral MRP kepada rakyat di Tanah Papua.
Dengan melihat berbagai fenomena yang terjadi hari ini di Tanah Papua, maka kami dari Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FORDEM) mendukung segala keputusan Rekomendasi hasil Musyawarah Besar Majelis Rakyat Papua (MRP) :
1. Bahwa OTSUS GAGAL TOTAL dan Dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia beserta perangkat-perengkatnya
2. Segerah lakukan Referendum di Tanah Papua bagi penyelesaian masalah Status Politik Papua.
Dan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR-P) untuk segerea melakukan pleno untuk menindaklanjuti hasil Musyawarah Besar Majelis Rakyat Papua.
Demikian pernyataan sikap Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu untuk diketahui, didengar dan dilaksanakan oleh Institusi-Institusi pemerintahan yang berwenang seperti DPR-Papua, DPR-Papua Barat, Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, DPR/MPR-RI, MENDAGRI dan Presiden Republik Indonesia. Kordinator Umum Agus Kossay.
No comments:
Post a Comment