Ministeiru saude (photo MOH) |
By: Inacio da Costa, S. Farm. Apt
PENDAHULUAN
Obat dan perbekalan kesehatan merupakan salah satu
komponen penting dalam pelayanan kefarmasian yang merupakan komponen esensial
dari suatu pelayanan kesehatan dan sudah merupakan kebutuhan pokok masyarakat
yang tidak tergantikan. Karena akses terhadap kebutuhan obat dan
perbekalan kesehatan merupakan hak azasi manusia, maka adalah merupakan
kewajiban negara/pemerintah untuk memberikan pelayanan obat maupun perbekalan
kesehatan yang memadai kepada masyarakat/warga negaranya. Terutama persediaan obat dan perbekalan kesehatan yang murah ,
terjangkau atau mudah diperoleh pada saat dibutuhkan oleh masyarakat. Pengadaan
obat dan perbekalan kesehatan adalah upaya pemenuhan kebutuhan obat dan
perbekalan kesehatan sesuai dengan jenis, jumlah dan mutu yang telah
direncanakan sesuai kebutuhan pembangunan kesehatan.
Pengadaan merupakan proses untuk penyediaan obat yang
dibutuhkan di unit pelayanan kesehatan (Maimun, 2008). Dan salah satu aspek
yang perlu diperhatikan adalah manajemen logistik obat dan perbekalan
kesehatan.
Pengadaan
& Pengelolaan merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk mencapai suatu
tujuan tertentu yang dilakukan secara efektif dan efisien. Proses
pengadaan&pengelolaan dapat terjadi dengan baik bila dilaksanakan dengan
dukungan kemampuan menggunakan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem.
Tujuan
utama pengadaan & pengelolaan obat & perbekalan kesehatan adalah
tersedianya obat & perbekalan kesehatan dengan mutu yang baik, tersedia
dalam jenis dan jumlah yang sesuai kebutuhan pelayanan kefarmasian bagi
masyarakat yang membutuhkan.
Secara
khusus pengelolaan obat &perbekalan kesehatan harus dapat menjamin :
a. Tersedianya
rencana kebutuhan obat &perbekalan kesehatan dengan jenis dan jumlah yang
sesuai dengan kebutuhan pelayanan kefarmasian.
b. Terlaksananya
pengadaan obat&perbekalan kesehatan yang efektif dan efisien
c. Terjaminnya
penyimpanan obat &perbekalan kesehatan dengan mutu yang baik
d. Terjaminnya
pendistribusian / pelayanan obat &perbekalan kesehatan yang efektif
e. Terpenuhinya
kebutuhan obat &perbekalan kesehatan untuk mendukung pelayanan kefarmasian
sesuai jenis, jumlah dan waktu yang dibutuhkan
f. Tersedianya
sumber daya manusia dengan jumlah dan kualifikasi yang tepat
g. Digunakannya
obat &perbekalan kesehatan secara rasional
Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka Pengelolaan Obat & perbekalan kesehatan
mempunyai empat kegiatan yaitu :
a. Perumusan
kebutuhan (selection)
b. Pengadaan
(procurement)
c. Distribusi
(distribution)
d. Penggunaan
/ Pelayanan Obat&perbekalan kesehatan (Use)
Masing-masing
kegiatan di atas, dilaksanakan dengan berpegang pada fungsi manajemen yaitu
Planning, Organizing, Actuating dan Controlling. Ini berarti untuk kegiatan
seleksi harus ada tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan pengendalian, begitu juga untuk ketiga kegiatan yang lain.
Keempat
kegiatan pengelolaan obat tersebut didukung oleh sistem manajemen penunjang
pengelolaan yang terdiri dari :
a. Pengelolaan
Organisasi
b. Pengelolaan
Keuangan untuk menjamin pembiayaan dan kesinambungan
c. Pengelolaan
informasi
d. Pengelolaan
dan pengembangan sumber daya manusia
Pelaksanaan
keempat kegiatan dan keempat elemen sistem pendukung pengelolaan tersebut di
atas didasarkan pada kebijakan (policy) dan atau peraturan perundangan (legal
framework) yang mantap serta didukung oleh kepedulian masyarakat.
Dalam pelaksanaannya ini kita tetap berharap bahwa
negara/pemerintah pantas menyediakan/mengalokasikan anggaran yang memadai bagi
sektor kesehatan ini. Karena alokasi dana yang memadai akan berdampak
pula terhadap penyediaan obat & perbekalan kesehatan dipelayanan kesehatan
dasar.
Penyediaan dana yang tidak memadai akan berdampak pada
kekurangan obat & perbekalan kesehatan dipelayanan kesehatan dasar baik di
tingkat nacional maupun pada tingkat district/daerah. Atau secara umum dapat
dikatakan bahwa penyediaan dana yang tidak memadai untuk pembangunan sektor
kesehatan akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan dasar, dimana pasien
tidak mendapatkan pelayanan obat dan perbekalan kesehatan sebagaimana mestinya.
Pembahasan tentang
Problematika Logistik Obat dan Perbekalan Kesehatan dalam bingkai analisis “Supply
dan Quality Assurance” tidak hanya akan tuntas dibahas dengan pendekatan
teori-teori perencanaan, pengadaan, distribusi, dan penggunaan obat dan
perbekalan kesehatan. Demikian juga tentang Quality Assurance. Ketentuan
GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices)
– yang jika dijalankan secara konsisten - akan dengan mudah meneguhkan kondisi
terjaminannya kualitas, khasiat, dan keamanan produk obat dan perbekalan
kesehatan sampai ke tangan pengguna.
Karena, ketika Transparency
International mengeluarkan Global Corruption Report 2012 dengan special
focus:
“Corruption and Health” pembahasan tentang
problematika logistik dan perbekalan kesehatan ternyata tidak lagi sesederhana
problematika penatalaksanaan Supply dan Quality Assurance saja.
Dibalik itu semua ada “pasar masalah” yang potensial menjadi awal terjadinya
penyelewengan(suap menyuap dan korupsi) dalam pengadaan obat dan perbekalan
kesehatan, khususnya di sektor pemerintah. Karakteristik yang unik dari
pelayanan kesehatan dan obat – yang pada gilirannya menimbulkan kekhususan
dalam perencanaan, pengadaan, distribusi, dan penggunaannya – memberikan
kontribusi yang signifikan dalam membentuk regulasi yang ketat yang pada
dasarnya bertujuan untuk menjamin keamanan dan keselamatan penggunanya
(pasien), namun sekaligus menciptakan ruang yang leluasa untuk menciptakan
“masalah” yang selanjutnya bertransformasi menjadi peluang terjadinya
penyelewengan (korupsi dan penyuapan).
Penyelewengan di
sektor kesehatan, khususnya dalam logistik obat dan perbekalan kesehatan,
mempunyai magnitude dan dampak yang jauh lebih besar dan meluas ketimbang
hal yang sama di sektor lain. Implikasinya langsung kepada kesehatan
masyarakat, nyawa manusia dan hak warga negara dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang terjangkau dan memadai.
Dengan asumsi atas magnitude
dan implikasi yang besar dan meluas inilah maka tinjaun terhadap penyelewengan
dalam logistik obat dan perbekalan kesehatan ini menjadi penting. Namun, agar
pembahasan tidak terfokus atau malah meluas menjadi pembahasan hukum, maka
dalam tulisan ini akan dibatasi hanya pada potensi penyebab terjadinya
penyelewengan (korupsi dan penyuapan, implikasinya serta pembenahan yang harus
dilakukan oleh komunitas kesehatan agar tujuan mulia dari pembangunan kesehatan
dapat terwujud).
POTENSI
PENYELEWENGAN(KORUPSI, SUAP DAN GRATIFIKASI) DI SEKTOR KESEHATAN
Pengertian korupsi
berasal dari bahasa latin corruptio, corrumpere, yang secara
harfiah berarti: kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Dalam pengertian hukum positif,
pengertian korupsi, suap dan gratifikasi dapat dilihat dalam berbagai undang-undang
tentang tindak pidana korupsi yang digunakan dalam pemberantasan korupsi pada
beberapa negara di dunia. Substansinya adalah, jika dilihat dari sitem nilai,
maka korupsi, suap dan gratifikasi merupakan perbuatan yang sangat tercela yang
seharusnya tidak layak dilakukan oleh siapapun, dalam keadaan apapun dan karena
sebab apapun. Sehingga hukum positif tentang korupsi dan pemberantasan korupsi
pada beberapa negara di dunia menempatkannya dalam klasifikasi “extraordinary
crime“, yang karena pelaku dan proses perbuatannya dilakukan oleh
orang-orang yang “terpilih“ (karena jabatannya) dan dengan cara-cara yang
“canggih“, maka pemberantasannya juga dilakukan dengan cara-cara yang “luar
biasa“.
Sekedar untuk
referensi&pengetahuan,! laporan Transparency International (TI) 2012
mengungkapkan terjadinya korupsi sektor kesehatan di Kamboja. Di negara
ini, korupsi sektor kesehatan menjadi penyebab mengapa investasi di bidang
kesehatan tidak mampu memberikan hasil yang optimal kepada derajat kesehatan
masyarakatnya. Dari penelitian yang dilakukan TI tahun 2011, terungkap bahwa
korupsi terjadi di setiap level dalam sistem kehatannya. Bahkan sekitar 5
sampai 10 persen anggaran kesehatan negara tersebut sudah menguap sebelum
diserahkan kepada Departemen Kesehatan dan seterusnya secara berturut juga
menguap ketika anggaran kesehatan disalurkan ke tingkat provinsi, kabupaten,
rumah sakit bahkan sampai ke klinik/CHC dan Health Post.
Jika kondisi di
Kamboja diekstrapolasi ke dalam kondisi di negeri kita, layak diduga akan
merupakan “puncak gunung es“ dari besaran penyelewengan(korupsi dan penyuapan)
yang mungkin dapat saja terjadi di sektor kesehatan negara kita yang masih di
kategorikan negara fragyl di dunia?
KARAKTERISTIK SISTEM
KESEHATAN DAN PELUANG PENYELEWENGAN
Transparency
International (TI) menyoroti karakteristik yang ada dalam sistem kesehatan
yang menyebabkan terbukanya peluang dan potensi terjadinya
penyelewengan(korupsi), antara lain:
a.
An Imbalance of information
Karakteristik ini
memperlihatkan adanya pengetahuan yang tidak seimbang antara tenaga kesehatan
dengan pasien. Demikian juga pengetahuan dan informasi yang dimiliki perusahaan
obat dan perbekalan kesehatan. Mereka lebih tahu dan menguasainya ketimbang
pegawai negeri yang bertugas dan mempunyai kewenangan penggunaan anggaran
kesehatan (Pimpinan Proyek, Kuasa Pengguna Anggaran, Panitia Pengadaan Barang
dan Jasa, dan lain-lain). Sebaliknya, ketersediaan informasi tentang harga dan
spesifikasi produk serta transparansi proses pengadaan barang dan jasa di
sektor kesehatan ternyata mampu menekan terjadinya korupsi.
b.
The uncertainty in health market
Sulit dipastikan (dan
tidak seorangpun pernah berharap) kapan akan sakit, suatu daerah terkena wabah
atau apa penyakit/ wabah yang akan diderita dan seefektif apa sebenarnya
obat dan perbekalan kesehatan tersedia. Ketidakpastian ini menjadi salah satu
penyebab munculnya peluang terjadinya korupsi. Pada kondisi tertentu, situasi
yang dianggap “darurat” dapat menyebabkan pejabat pemerintah yang berwenang
melakukan diskresi untuk pengadaan barang dan jasa yang tidak mengikuti
ketentuan yang ada.
c.
The complexity of health system
Proses pengadaan
barang dan jasa di sektor kesehatan melibatkan kelompok besar “pemain” yang
saling jalin menjalin, sehingga mempersulit analisa informasi tentang obat dan
perbekalan kesehatan. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan sulitnya
mewujudkan transparansi, upaya deteksi kemungkinan adanya penyimpangan dan
tindakan pencegahan korupsi. Hubungan dan “keterkaitan kepentingan” antara
rekanan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dengan penyedia pelayanan
kesehatan dan pengambil keputusan (pejabat pemerintah) seringkali “terasa ada,
terkatakan tidak”.
Pejabat pemerintah,
penyedia dan pelaksana pelayanan kesehatan (rumah sakit, oknum dokter, oknum
farmasis), rekanan (supplier) dan masyarakat menghadapi bauran insentif yang
kompleks yang memicu terjadinya korupsi dalam berbagai macam bentuk. TI
menggambarkan berbagai bentuk korupsi di sektor kesehatan sebagai berikut:
a.
Embezzelement and Theft
Bentuk penggelapan
anggaran kesehatan ini dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintah pusat
maupun daerah atau di berbagai titik dimana anggaran tersebut dialokasikan
(pengadaan barang dan jasa di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota,
rumah sakit, puskesmas dan seterusnya). Bentuk korupsi lainnya adalah pencurian
terhadap logistik obat dan perbekalan kesehatan di berbagai lapisan pelayanan
kesehatan, serta digunakannya peralatan medis milik pemerintah untuk
kepentingan pribadi dan atau untuk praktik swasta.
b.
Corruption in procurement
Adanya kolusi, suap
dan kickbacks dalam pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan
pemerintah menyebabkan terjadinya penggelembungan anggaran, atau sebaliknya
menyebabkan logistik obat dan perbekalan kesehatan yang diprogramkan tidak
memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Di pihak lain, seringkali perencanaan dan
investasi infrastruktur di lingkungan rumah sakit menghabiskan dana yang sangat
besar dan peralatan medis berteknologi tinggi yang rawan korupsi.
c.
Corruption in payment system
Praktik korupsi juga
mencakup manipulasi dan pemalsuan dokumen asuransi untuk kepentingan pasien
tertentu, tagihan biaya perawatan yang tidak sah, manipulasi penggunaan obat
dan alat kesehatan, memasukkan biaya perawatan pasien yang tidak dicakup oleh
asuransi ke dalam cakupan asuransi dan pembiayaan atas pasien, obat dan alat
kesehatan fiktif.
d.
Corruption in the pharmaceutical chain
Pengadaan dan
penggunaan obat dan sediaan farmasi di sarana pelayanan kesehatan pemerintah
menempati posisi yang sangat rawan bagi terjadinya praktik korupsi. Bentuknya
dapat berupa pelanggaran etika pemasaran obat dengan memberikan insentif
tertentu kepada institusi rumah sakit (untuk obat yang masuk dalam formularium
rumah sakit/daftar pengadaan obat esensial) dan atau dokter (untuk prilaku
peresepan yang menimbulkan insentif).
e.
Corruption at the point of health service delivery
Bentuk korupsinya
bermacam-macam, seperti memberi atau menerima pembayaran “under-the-table”
untuk pelayanan kesehatan yang seharusnya gratis, meminta pembayaran dengan
menawarkan perawatan dan pelayanan yang khusus serta memberi atau menerima suap
untuk kepentingan keluarnya izin, akreditasi dan sertifikasi bagi fasilitas
pelayanan kesehatan.
Dalam tindak pidana
korupsi di sektor kesehatan, TI menengarai adanya lima aktor kunci yang
karena penyalahgunaan kewenangan, tanggung jawab serta “moral hazard”nya
dapat menimbulkan korupsi, yaitu: (1). Regulators (Pejabat Departemen
Kesehatan, Anggota Parlemen, dan Supervisory commisions); (2). Payers
(Organisasi Jaminan Sosial, Asuransi Kesehatan); (3). Health care providers
(Rumah sakit, oknum dokter, oknum farmasis, oknum paramedis); (4). Patients;
dan (5). Suppliers (produsen peralatan medis dan perbekalan
kesehatan serta perusahaan farmasi.
POTENSI PENYELEWENGAN
(KORUPSI) DI SEKTOR KESEHATAN .
Dalam konteks
terjadinya korupsi di sektor kesehatan, mengutip hasil kajian yang dilakukan
oleh Transparancy International (TI), Secara politik Sistem Perencanaan
dan Penyusunan Anggaran di Parlemen dapat berpotensi menimbulkan tindakan
korupsi. Seperti di ketahui, secara politik dalam melaksanakan fungsi
penganggaran dan pengawasannya, anggota Parlemen terlibat aktif dalam proses
perencanaan dan penganggaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara(APBN), dalam
hal ini perencanaan dan penganggaran APBN di bidang kesehatan. TI menemukan
beberapa kendala akibat kondisi ini, yaitu:
1. Potensi korupsi
pada proses perencanaan dan penganggaran
Pembahasan Parlemen sampai pada satuan terkecil kegiatan,
sehingga membuka peluang terjadinya konflik kepentingan anggota Parlemen
terhadap kegiatan tersebut.
2. Kelemahan proses kerja
Kurangnya efisiensi dan
efektifitas rapat dan debat yang kritis, produktif tentang alokasi anggaran
pembangunan kesehatan.
3. Kelemahan kelembagaan
Kurangnya dukungan
terhadap proses analisa oleh anggota Parlemen
Potensi terjadinya
korupsi di sektor kesehatan juga dapat terjadi di kementerian dan lembaga
negara sebagai Pengguna Anggaran yang mewujudkannya dalam bentuk berbagai
program dan proyek pengadaan barang dan jasa. Potensi korupsi dapat terjadi di
semua level, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah sampai dengan rumah
sakit.
Pada dasarnya
pemerintah seharusnya mengatur pengadan logistik obat dan perbekalan kesehatan
di sektor pemerintah melalui suatu Regulasi atau SK Menteri tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terintegrasi. Namun tetap
saja peluang terjadinya korupsi dapat terjadi, utamanya berkisar di dua aspek,
yaitu administrasi dan teknis.
Dalam masalah
administrasi, metode pengadaan barang dan jasa dapat menjadi sumber potensial
terjadinya korupsi, apakah dalam bentuk Tender maupun Penunjukan Langsung.
Alasan keterbatasan
waktu, kedaruratan dan gagalnya proses tender dapat menjadi pilihan untuk tetap
dilaksanakannya proyek pengadaan barang dan jasa dengan metode Penunjukan
Langsung.
Dalam aspek teknis,
penentuan spesifikasi teknis yang seharusnya menjadi kewenangan mutlak Pengguna
Anggaran, namun akibat ”imbalance information” dan pengetahuan teknis
pelaksana proyek terhadap produk obat dan perbekalan kesehatan yang relatif
kurang, menyebabkan ketergantungan pada informasi dan data teknis dari rekanan
menjadi sangat tinggi. Adanya kerjasama dalam penentuan spesifikasi teknis ini
merupakan salah satu titik krusial terjadinya tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa di sektor kesehatan.
Titik krusial
lainnya adalah dalam penetapan Harga Perhitungan Sendiri (HPS)/ Owner
Estimate (OE). Untuk mendapatkan hasil pengadaan barang, dalam hal ini
logistik obat dan perbekalan kesehatan yang menguntungkan negara dengan
kualitas barang yang dapat dipertanggungjawabkan, maka HPS harus dilakukan
secara benar, berdasarkan informasi harga pada pasar yang bersaing, perhitungan
pajak yang tepat dan biaya-biaya lainnya yang terkait langsung dengan pengadaan
barang.
Pentingnya
kredibilitas dan independensi Pengguna Anggaran dalam penentuan spesifikasi
teknis dan HPS/ OE merupakan syarat mutlak terselenggaranya pengadaan logistik
obat dan perbekalan kesehatan yang akuntabel. Kedua aspek ini mempunyai
peran strategis sebagai alat kontrol kualitas barang serta kewajaran harga yang
ditawarkan rekanan.
Potensi korupsi
lainnya yang mungkin belum akan tersentuh upaya pemberantasan korupsi adalah
gratifikasi dalam pengadaan obat di rumah sakit (penentuan jenis dan merek obat
yang di butukan di rumah sakit karena belum ada formularium rumah sakit) dan
insentif yang diberikan perusahaan farmasi kepada oknum dokter dan oknum
farmasis atas jasanya menuliskan resep untuk obat-obat produksi perusahaan
farmasi tersebut.
Jika gratifikasi dan
insentif ini terjadi di sarana pelayanan kesehatan swasta, mungkin ketentuan
tentang pemberantasan korupsi akan sulit menyentuhnya. Yang jadi masalah adalah
jika penentuan daftar obat esensial /formularium rumah sakit dan kolusi
peresepan obat dengan perusahaan farmasi dilakukan di rumah sakit pemerintah
dan oleh oknum dokter dan oknum farmasis yang berpraktik di sana. Maka
Gratifikasi dan insentif ini merupakan praktik korupsi yang ”aromanya”
sepertinya dapat tercium di institusi pelayanan kesehatan negeri ini?
PEMBERANTASAN
PENYELEWENGAN (KORUPSI) DI SEKTOR KESEHATAN: HARAPAN KE DEPAN
Pada tahun 2012 dan ke
depan, upaya pemberantasan korupsi layak diduga akan lebih gencar
dilakukan pemerintah “V gouverno constitusional”, baik oleh Procuradoria- Geral
da República maupun Comisaun Anti Corupsaun(CAC).
Memberantas prilaku
dan budaya korupsi memang bukanlah hal yang mudah. Di sektor kesehatan,
karakteristik yang unik dan ”canggih” dari logistik obat dan perbekalan
kesehatan serta pengadaaanya sering dijadikan justififikasi terhadap
peyimpangan prosedur dan prilaku koruptif.
Upaya pemberantasan
korupsi di sektor kesehatan membutuhkan komitmen dan kesadaran kolektif dari
seluruh pemangku kepentingan. Kesadaran bahwa korupsi yang dilakukan di sektor
kesehatan akan menimbulkan dampak berantai dan berkelanjutan bagi kualitas
hidup dan derajat kesehatan masyarakat akan menjadi benteng hati nurani bagi
pejabat di institusi kesehatan pemerintah untuk tidak melakukan korupsi,
menerima suap dan gratifikasi.
Dalam sebuah obrolan
ringan bersama teman-teman dari bagian pengadaan barang dan jasa (Team/Panitia
Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan) di lingkungan Gudang Induk Obat &
Perbekalan Farmasi Nacional, penulis pernah ”memprovokasi” mereka dengan
mengatakan bahwa spirit dan konstruksi peraturan pelaksanaan pengadaan barang
dan jasa (Pengadaan Obat dan Perbekalan Farmasi) yang mereka jadikan acuan
sebenarnya bukanlah untuk melindungi mereka sebagai panitia, namun lebih
cenderung melindungi atasan. Jika terjadi indikasi dan dugaan tindak pidana
korupsi, merekalah yang pertama sekali menjadi sasaran. Dengan terkejut mereka
mengatakan: ”Apa yang harus kami lakukan? Penulis mengatakan:
1. Catat setiap
perintah, arahan atasan dan poin penting dalam notulensi rapat di buku harian.
Demikian juga setiap lobby, approach dan preferensi atasan terhadap
rekanan harus diingat, dicatat dan kalau perlu direkam.
2. Simpan semua dokumen berkenaan pengadaan barang dan jasa dan
siapkan copynya untuk arsip pribadi jika dibutuhkan dikemudian hari.
Di pihak lain, ketika
mengobrol dengan beberapa pejabat yang berhubungan dengan kebijakan dan pembuat
keputusan Pengadaan Obat & Perbekalan Kesehatan, penulis mengatakan bahwa
pada saat ini dan ke depan mereka harus lebih berhati-hati dalam proses
pengadaan barang dan jasa , khususnya untuk logistik obat dan perbekalan
farmasi karena staf dan bawahan mereka telah melakukan langkah-langkah seperti
yang disarankan di atas. Para pejabat tersebut bertanya: ”Mengapa harus
demikian?
Penulis dengan lancang
menjawab: ”Sama seperti Bapak-bapak, staf dan bawahan Bapak di panitia
pengadaan barang dan jasa juga tidak mau anaknya mempunyai orangtua Koruptor”.
*Penulis
adalah Apoteker/Farmaceuticos Timor Oan Tinggal di Bairropite - Dili.
No comments:
Post a Comment