Pengantar
Wacana mengenai gerakan nasionalisme di Timor-Leste selalu merujuk pada Maubere atau Maubereisme. Atas dasar itu, Maubere adalah sebuah identitas nasional, yang dibangun oleh geraka nasional yang menyadarkan orang Timor-Leste tentang keterbelakangan dan kemiskinanannya. Pada tingkatan tertentu, Maubere adalah personifikasi dari gerakan nasionalisme Timor-Leste.
Guteriano Neves |
Dalam proses perkembangan sejarah, penggunaan Maubere mengalami perubahan dari waktu ke waktu; tergantung kepada dinamika kekuasaan, siapa penggunanya dan kepada siapa Maubere digunakan. Awalnya, Maubere digunakan untuk mengkarakterkan orang Timor-Leste yang terbelakang. Kemudian dilihat sebagai sebuah kesadaran nasional akan penindasan oleh penjajahan Portuguis, dan selama masa pendudukan militer Indonesia, Maubere digunakan sebagai sebuah kesadaran nasional sebagai bangsa yang tanahnya diduduki. Dengan merujuk pada karya Benedict Anderson, dimana bangsa adalah sebuah “komunitas imajinatif” maka Maubere adalah sebuah konsep yang menyatukan orang Timor-Leste untuk membayangkan dirinya sebagai bangsa yang tertindas. Sayangnya, pada masa kemerdekaan ini, konsep-konsep tersebut telah hilang dari publik. Tidak banyak yang mencoba menggali kembali hal ini. Melalui artikel ini, penulis ingin mencoba menggali kembali konsep Maubere sebagai sebuah kesadaran nasional, yang dulunya telah digunakan sebagai sebuah kesadaran nasional untuk melawan penjajahan dan regime pendudukan.
Untuk memahami Maubere, adalah penting untuk memahami Genesis terminology ini. Dengan bersandarkan diri pada Konsep Geneaological Method dari Michael Foucault, tujuan dari artikel ini, bukan untuk memberikan sebuah interpretasi definif tentang konsep Maubere. Tetapi adalah tujuan dari artikel ini untuk melakukan interpretasi kembali terhadap Maubere sebagai sebuah wacana yang membangkitkan kesadaran nasional orang-orang pribumi untuk bangkit dan melawan berbagai bentuk penindasan. Dengan kata lain, artikel ini bertujuan untuk memberikan sebuah interpretasi sepihak dari sudut pandang penulis tentang konsep ini. Dalam menginterpretasikan terminology Maubere, penting juga untuk memahami relasi kekuasaan dan dinamika politik dalam berbagai era. Artinya menempatkan Maubere sebagai sebuah terminology yang makna dan interpretasinya tergantung kepada dinamika kekuasaan.
Dalam menggali konsep Maubere, penulis juga merujuk pada bagaimana para pencetus kemerdekaan mengidentifikasi diri sebagai Maubere. Hal ini dilihat pada berbagai media cultural yang dipakai pada waktu itu. Termasuk di dalamnya, manual pendidikan, manual politik Partai Fretilin dan agenda-agenda nasionalismenya, pesan-pesan Xanana Gusmao, pesna-pesan Gereja, serta lagu-lagu dan puisi-puisi yang dipakai selama masa perjuangan hingga tahun 1999. Semua itu dianggap sebagai media cultural yang merepresentasikakn orang Timor-Leste. Lebih jauh, pidato, manual politik, dan pesan-pesan di atas merupakan wacana politik yang membangkitkan kesadaran diri orang Timor-Leste sebagai “Imagined Community.”
Genesis Kesadaran Nasional Sebagai “Maubere”
Berbagai referensi yang membahas mengenai “Maubere,” selalu merujuk pada karya Antrhopolog asal Amerika Serikat, Elizabeth Traube, Cultural Notes on Timor. Meskipun karia tersebut tidak dipublikasikan, interpretasi awal terhadap konsep Maubere sampai sekarang ini, dipengaruhi oleh karyanya. Seperti yag dikutip oleh Helen Hill dalam Buku Gerakan Pembebasan Nasional Timor-Leste, pada masa kolonial, kata Maubere digunakan untuk menggambarkan suku Mambai yang dianggap paling terbelakang, orang gunung yang bodoh, tak bersuara, dan suka memencilkan diri. Helen Hill juga memberikan definisi yang sama, bahwa sebelum tahun 1974, Maubere adalah istilah yang digunakan untuk “menghina golongan petani yang miskin, bodoh, dan percaya takhyul.”
Dalam konteks ini, Maubere adalah sebuah konstruksi sosial oleh penjajah dalam relasinya dengan kaum terjajah. Jadi Maubere adalah sebuah identitas yang dibangun oleh kaum penjajah untuk membangun batas-batas imajinasi antara penjajah dan rakyat pribumi. Sama dengan wacana penjajah lain, wacana ini tidak mempersoalkan “mengapa” rakyat pribumi tidak berpendidikan, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Selain itu juga, dengan menempatkan rakyat Timor-Leste sebagai orang yang tidak berpendidikan, wacana ini juga selanjutnya digunakan untuk melegitimasi kehadiran penjajahan sebagai usaha untuk mendidik, dan mengajar rakyat pribumi. Dalam kerangka ini, alasan untuk memperadabkan (to civilize) didasarkan pada wacana ini.
Namun ketika gerakan nasionalisme di Timor-Leste muncul pada tahun 1970-an, terminology Maubere mengalami perubahan drastis. Konsep yang dulunya menjadi milik kaum penjajah dalam mengkarakterkan orang Timor-Leste, direbut dan diinterpretasikan kembali sebagai sebuah kesadaran nasional baru. Meskipun diakui bahwa tanpa sebuah landasan teoritis yang kuat, Maubere diinterpretasi kembali berdasarkan pada mitos tentang kehidupan orang Timor-Leste sebelum kedatangan kaum penjajah. Mitos tersebut, Menurut Jose Ramos Horta, adalah bahwa sebelum kedatangan penjajah, orang Maubere adalah rakyat yang bermartabat, kolektif dan demokratis dalam hal pengambilan keputusan. Dengan rujukan tersebut, interpretasi baru terhadap Maubere adalah sebuah usaha untuk menghidupkan kembali masyarakat yang bermartabat, kolektif dan demokratis tersebut. Dengan kata lain, Maubere, sebagai sebuah ideology, adalah suatu kesadaran nasional yang berjuang untuk mengembalikan martabat orang Timor-Leste yang telah terhisap oleh penjajahan selama ratusan tahun.
Maubere sebagai sebuah gerakan nasional, memiliki kesamaan dengan gerakan nasionalisme di negara-negara dunia ketiga lain. Anthropolog Amerika Serikat, Richard Franke membandingkan Maubereisme dengan Marhenisme yang dirumuskan oleh Soekarno di Indonesia. Dalam konsep Marhenisme, digunakan oleh Soekarno untuk melambangkan kalangan kelas bawah yang termarginalisasi. Menurut referensi, Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme.
Pada awalnya konsep Maubere hanya berkembang di kalangan kelas elit lokal yang bernaung di bawah FRETILIN. Dengan menggunakan konsep ini, para kalangan elite ini mengklaim diri sebagai entitas yang sah untuk mewakili rakyat Maubere. Berdasarkan pada kesadaran ini pula, Fretilin, yang mengklaim diri untuk memiliki legitimasi di antara rakyat Timor-Leste merumuskan berbagai agenda nasionalisme. Seperti yang diuraikan dalam buku Pedoman Politiknya, Fretilin mengklaim diri sebagai sebuah wadah yang menyatukan orang Timor-Leste yang mencintai tanah airnya, dan mendambakan pembebasan dari berbagai bentuk penjajahan. Untuk mencapai itu, revolusi adalah satu-satunya cara yang bisa menghancurkan struktur yang menindas tersebut. Atas dasar itu, menurut Pedoman Politik Fretilin, perjuangan untuk melawan penjajahan mencakup pergantian kekuasaan dari Portugal kepada orang Timor-Leste, dan juga melakukan perubahan secara radikal terhadap system kekuasaan yang menghisap orang Timor-Leste.
Pertanyaan yang sering ditanyakan dalam kaitannya dengan nasionalisme Timor-Leste adalah bagaimana kesadaran ini meluas kepada kalangan masyarakat Timor-Leste? Beberapa penulis mempertanyakan hal ini karena tingginya angka buta huruf pada waktu itu, dan tidak adanya media cetak yang berfungsi untuk memperluas ide-ide nasionalisme pada waktu itu. Dengan demikian, dalam pandangan Anderson, situasi ini tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk membayangkan dirinya sebagai bagian dari Imagined Community.
Tetapi, terlepas dari ketidakhadiran media cetak, ada usaha melalui berbagai media untuk memperluas kesadaran nasional. Salah satu cara yang penting pada waktu itu adalah melalui pendidikan yang berorientasi kadap kesadaran kritis atau Conscientizascao. Pendidikan model ini dicetuskan oleh pendidik ternama dari Brazil, Paulo Freire. Pada konsep ini, pendidikan diarahkan kepada penanaman kesadaran kritis diantara para pelajar untuk menyadari ketidakadilan sosial yang terjadi di sekitarnya. Berbasiskan pada kesadaran kritis akan ketidakadilan sosial itu, model pendidikan ini, lebih lanjut mempersiapkan orang untuk menjadi agen-agen transformasi sosial secara menyeluruh.
Seperti yang ditemukan oleh Komisi Kebenaran, dan Rekonsiliasi, kegiatan pendidikan politik yang dilakukan oleh Fretilin bertujuan unutk memnumbuhkan semangat nasionalisme dan mendukung perjuangan pembebasan nasional. Atas dasar itu, isi dari Pedoman dan Program Politik Fretilin digunakan untuk menyadarkan orang Timor-Leste tentang keadaannya. Dalam program pendidikan model ini, rakyat tidak hanya belajar untuk membaca dan menulis, tetapi pendidikan digunakan sebagai sebuah proses penyadaran tentang struktur penidasan, dan bagaimana melakukan transformasi terhadap sistem tersebut.
Selain itu, lagu-lagu seperti Foho Ramelau, Kolele Mai, dan Sa Sa Ha’a Nalo merepresentasikan kesadaran tersebut. Misalnya, dalam ba’it laguSa Sa Ha’a Nalo berisikan beberapa pertanyaan seperti “Apa yang membuat jagung kita tidak dibeli? Apa yang membuat kita lapar? Apa yang membuat keringat kita tidak pernah kering?” Contoh lain adalah lagu Ukun Rasik Ita Rain, berisikan sebuah panggilan bagi kalangan pribumi untuk menjadi tuan atas tanahnya sendiri. Pada lagu pertama, pencipta lagu ini ingin mengajak orang Timor-Leste untuk mempertanyakan keadaan mereka, dengan melihat kepada system yang tidak adil tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebuah bentuk pemberontak melalui budaya terhadap system yang tidak adil tersebut. Pada lagu kedua, pencipta ingin mengajak orang Timor-Leste untuk menyadari statusnya sebagai tuan tanah dan harus berjuang untuk memperoleh kembali status tersebut. Untuk tersebut, lagu kedua juga mengajak orang Timor-Leste untuk bersatu dan melawan system tersebut. Lagu lain adalah Independence Total. Lagu ini mengekspresikan sebuah mimpi atas kemerdekaan secara total dengan penghancuran total terhadap berbagai sistem yang bersifat exploitative tersebut.
Menurut kesaksian seorang Brigada pendidikan Fretilin kepada Komisi Penerima Kebenaran dan Rekonsiliasi, pada malam hari para partisipan pendidikan menyanyikan lagu-lagu di atas. Kata-kata tersebut menggambarkan mengenai orang miskin dan penderitaan mereka karena invasi serta kenangan pada orang-orang yang mati karena berjuang demi tanah air. Selain itu, melalui berbagai gagasan Fretilin, kolonialismie dilihat sebagai sebuah bentuk ketidaksetaraan antara manusia dimana suatu golongan kecil menghisap dan menindas yang lain. Lebih lanjut, gagasan politik Fretilin juga menegaskan pada penghisapan antara orang Timor-Leste seperti yang dilakukan antaraLiurai dengan Reino. Komisi juga lebih lanjut menemukan bahwa melalui kegiatan pendidikan dan budaya seperti ini, Fretilin berusaha mengembangkan kesadaran nasional dengan memperkenalkan satu bentuk kebudayaan yang dikenal di satu tempat saja ke tempat lain, dengan menjadikannya milik seluruh rakyat Timor-Leste.
Secara singkat, penjelasan di atas mengindikasikan bahwa Maubere adalah kesadaran nasional baru yang didasarkan pada penjajahan dan penghisapan rakyat Timor-Leste selama ratusan tahun. Maka, Maubereism sebagai sebuah ideology, adalah sebuah kesadaradan untuk mengembalikan harkat dan martabat rakyat Timor-Leste. Dan proses penyadaran nasional ini dilakukan melalui pendidikan, dan represntasi cultural melalui musik, puisi dan wacana-wacana politik.
“Maubere” Selama Masa Okupasi Militer
Ketika Indonesia menginvasi Timor-Leste, proses pembentukan kesadaran baru juga kembali dimulai. Kesadaran nasional yang dibangun didasarkan pada cara pandang orang Timor-Leste terhadap okupasi militer. Pada awalnya, pendudukan militer Indonesia tidak dilihat sebagai sebuah okupasi militer semata, tetapi dilihat sebagai bagian dari sistem imperialisme global. Seperti yang dikutip oleh CAVR, dalam Dokumen dari Departemen Orientasi Politik dan Ideologi yang disahkan pada Konferensia Laline 1977, digarisbawahi bahwa pengalaman negara lain dalam perjuangan pembebasan menunjukkan bahwa gerakan nasionalis menghadapi kekuatan-kekuatan imperialis melalui genoside dan pembantaian besar-besaran. Dengan cara pandang itu, gerakan nasionalisme babak baru adalah dengan berusaha untuk mendidik, mengorganisir dan memobilisasi massa melalui “perang rakyat jangka panjang.” Rakyat dalam konteks ini memainkan peran sentral sebagai“Base de Apoio” untuk melawan pendudukan militer, yang dilihat sebagai perpanjangan tangan dari sistem imperialisme global.
Seiring dengan perubahan dalam struktur perlawanan, dan konflik internal yang terjadi dalam tubuh Fretilin, serta berbagai usaha untuk melakukan reorganisasi, dan restrukturisasi setelah kehancuran Baze de Apoio, sebuah kesadaran nasional baru sebagai rakyat Maubere terbentuk. Kesadaran sebagai rakyat Maubere lebih dilihat sebagai masyarakat yang tanahnya sedang diduduki oleh sebuah regime militer, dan hak-hak fundamentalnya sedang dilanggar oleh sebuah okupasi militer. Identitas ini dapat dilihat pada surat-surat yang ditulis oleh Xanana Gusmao, sebagai aktor terpenting pada waktu itu.
Meskipun tidak ada sebuah rekonseptualisasi terhadap Maubere, tetapi interpretasi terhadap identitas tersebut dapat dilihat pada surat-surat yang ditulis oleh Xanana Gusmao. Sebagai seorang aktor terpenting pada waktu itu, tulisan-tulisan Xanana, sebagai sebuah wacana, memiliki pengaruh terhadap cara orang Timor-Leste memandang dan mengidentifikasi diri dalam relasinya dengan pendudukan militer Indonesia. Dalam hal ini, okupasi militer Indonesia lebih ditekankan pada pendudukan secara fisik atas tanah “Timor.” Dalam berbagai surat yang didkoumentasikan dalam buku “To Resist is to Win,” Xanana Gusmao secara terus menerus menggunakan kata “Maubere” untuk menyapa orang Timor-Leste. Misalnya dalam berbagai surat tersebut, Ia menggunakan “Maubere people, Maubere Youth, and Maubere Patriots.” Dalam surat-surat tersebut, terdapat beberapa karakter yang Xanana memberikan kepada konsep Maubere.
Pertama, Xanana menginterpretasikan Maubere sebagai sebuah kesadaran nasional. Maubere adalah orang yang memiliki kesadaran untuk bangkit dan melawan hingga titik darah terakhirnya demi mempertahankan tanah airnya yang sacral. Dalam surat yang dituliskan untuk National Council of Revolutionary Resistance, Ia menulis, rakyat Maubere adalah orang yang secara moral, politik dan militer siap untuk melawan sepanjang mungkin untuk mengusir para kriminal dan dan pendudukan asing yang biadab dari tanah airnya. Lebih lanjut, dalam pesannya kepada kaum muda Katolik di Timor-Leste dan para pelajar di Indonesia pada tahun 1987, Xanana menggarisbawahi landasan politis, cultural dan moral terhadap perjuangan Timor-Leste. Dalam pesan tersebut, Ia menegaskan bahwa partisipasi orang Timor-Leste dalma perjuangan ini adalah sebuah tanggungjawab moral, politis dan historis.
Secara moral, Xanana menekankan pada tanggung jawab kaum muda sebagai orang yang paham akan aspirasi rakyat Maubere. Secara politis, Xanana menekankan pada aspirasi orang Timor-Leste terhadap proses penyelesaian masalah Timor-Leste. Dan dua aspek ini harus didasarkan pada aspek histories, yaitu sejarah perjuangan Timor-Leste menuju kemerdekaan. Karakter-karakter di atas, oleh Xanana dikatakan sebagai kesadaran sebagai orang Maubere (Maubere Consciousness). Kesadaran nasional ini tumbuh sebagai reaksi atas realitas bahwa rakyat Maubere adalah rakyat yang tanahnya sedang diduduki secara illegal, rakyatnya sedang dibunuh, dan kepemilikannya sedang dirampas. Misalnya, dalam pesannya kepada General Assembly PBB pada tahun 1982, Xanana mengkarakterkan orang Maubere sebagai masyarakat yang tanahnya dibakar, rumahnya dihancurkan, kepemilikannya dirampas, dan masyarakat yang menyaksikan keluarganya dibunuh melalui pemboman.
Kedua, kesadaran untuk melawan pendudukan illegal juga didasarkan pada identitas historis. Seperti gerakan nasionalisme dimana saja, identitas dibangun di atas berbagai mitos historis. Dalam hal ini, pesan Xanana berisikan berbagai mitos tentang Timor-Leste sebelum kedatangan Portugues dan sejarah perjuangan para pendahulu untuk membebaskan diri dari penjajahan. Dalam pesan ini, Xanana mengingatkan para kaum muda bahwa identitas Timor-Leste bukanlah hal yang baru, tetapi memiliki sejarah yang panjang, bahkan sebelum kedatangan penjajah Portugues. Menurutnya, hanyalah penjajahanlah yang menghancurkan identitas tersebut. Namun dalam sejarahnya, para kerajaan Timor-Leste telah bersatu untuk mempertahankan tanah-airnya. Dengan demikian, Maubere, menurut Xanana dalam kaitannya dengan identitas historis adalah kesadaran nasional untuk melanjutkan perjuangan demi mempertahankan identitas tersebut.
Selain pesan-pesan Xanana, kesadaran nasional sebagai bangsa yang tanahnya diduduki juga tersirat dalam pesan-pesan Gereja Katholik. Pesan-pesan ini, sebagai sebuah wacana, juga memiliki arti penting dalam hal membangkitkan kesadaran nasional orang Timor-Leste. Meskipun, pesan Uskuk Belo pada waktu itu tidak menggunakan kata Maubere untuk menyapa umat, tetapi kesadaran sebagai bangsa yang tanahnya diduduki, hak-hak fundamentalnya sedang dilanggar, dan identitasnya sedang terancam oleh pendudukan militer tersirat dengan jelas. Misalnya, dalam pesan “Pembangunan yang Bermartabat dan Moralitas Implementasinya,” (Agustus 1994), Gereja menekankan pada pembangunan yang bertujuan untuk membuat orang Timor-Leste merasa betah di rumahnya sendiri dan juga rasa kepemilikian orang Timor-Leste terhaap tanah airnya sendiri. Tetapi, menurut pandangan Gereja pada waktu itu, nilai-nilai ini hilang dari konsep pembangunan Indonesia, dan masyarakat Timor-Leste semakin dikucilkan dari pembangunan tersebut. Atas dasar itu, menurut Gereja, adanya kesadaran baru diantara orang Timor-Leste dan membangun sebuah identitas baru sebagai masyarakat yang tertindas dan tersingkirkan.
Posisi Gereja terhadap persoalan Timor-Leste menjadi sangat kuat, karena secara institusional, struktur Gereja sampai pada level akar rumput masyarakat Timor-Leste. Sehingga pesan-pesan Gereja dibacakan di setiap Paroki, dan menjangkau semua umat. Selain itu, karena mayoritas masyarakat tidak bisa membaca dan menulis, maka cara ini paling efektif untuk menjangkau masyarakat.
Beberapa penulis yang telah melakukan kajian terhadap perkembangan nasionalisme di Timor-Leste, menyimpulkan bahwa okupasi militer Indonesia selama 24 tahun merupakan periode dimana nasionalisme Timor-Leste berkembang pesat. Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kesadaran nasional pada periode ini adalah penindasan militer Indonesia itu sendiri. Peter Carey, misalnya dalam dalam artikelnya Third-World Colonialism, The Geração Foun and the Birth of a New Nation, menyimpulkan bahwa pendudukan militer Indonesia melahirkan sebuah generasi nasionalisme baru di kalangan kaum muda yang berpusat di kota. Generasi baru ini kebanyakan memperoleh pendidikan dari Indonesia. Selainjutnya, mereka memainkan peran dalam gerakan jaringan bawah tanah yang berbasiskan di kota. Benedict Anderson, juga menyimpulkan bahwa seperti nasionalimme di negara dunia ketiga lain, dimana nasionalisme lahir dari negara kolonial, pendudukan militer Indonesia memainkan peran penting bagi nasionalisme Timor-Leste. Menurutnya, karena kekuasaan Indonesia yang menetrasi sampai tingkat pelosok, kesadaran nasional sebagai orang Timor-Leste berkembang pesat sjak tahun 1975.
Singkatnya, pada masa pendudukan militer Indonesia, kesadaran nasional yang muncul adalah kesadaran diri sebagai masyarakat yang tanahnya diduduki oleh kekuatan eksternal. Dalam hal ini Indonesia adalah musuh utama. Dan kesadaran ini melahirkan sebuah interpretasi baru terhadap Maubere. Maubere dalam konteks ini diinterpretasikan sebagai sebuah kesadaran sebagai masyarakat yang tertindas, namun berjuang hingga titik darah terakhir untuk melawan regim external yang menduduki tanah air, dan membebaskan tanah air dari pendudukan tersebut.
Beberapa Hypothesis Sementara
Berdasarkan penjelasan di atas, ada beberapa hypothesis yang penulis anggap sebagai hipotesis sementara terhadap konsep Maubere. Semua hypothesis ini sifatnya sementara dan interpretative. Hypotesis pertama adalah Maubere adalah sebuah komunitas imajinatif atau “Imagined Political Community.” Merujuk pada teori Benedict Anderson, Maubere sebagai sebuah komunitas imajinatif, karena semua orang yang menyebut diri sebagai Maubere belum tentu bertemu dengan anggota Maubere yang lain. Meskipun demikian, dalam bayangan setiap orang, mereka memiliki identitas, sejarah, ras, dan latar belakang yang sama sebagai orang yang ditindas, dirampas, dan tanahnya diduduki. Lebih lanjut, sebagai sebuah komunitas imajinatif, Maubere adalah hasil dari rekayasa gerakan nasionalisme di Timor-Leste. Karena gerakan nasionalisme adalah sebuah gerakan untuk membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan, pendudukan, dan penindasan; maka Maubere adalah sebuah komunitas imajinatif yang mendambakan dan berjuang untuk mencapai nilai-nilai di atas. Untuk menanamkan komunitas imajinatif ini dalam bayangan orang Timor-Leste, berbagai mitos historis digunakan dan dihidupkan kembali dan disebarkan melalui berbagai media. Misalnya sejarah tentang perjuangan para raja-raja untuk membebaskan diri dari penjajahan sebelum 1975; sejarah tentang asal mula pulau Timor, dan sebagainya.
Kedua, Maubere adalah sebuah Bangsa yang berdaulat. Kedaulatan, secara sederhana diartikan sebagai sebuah bangsa yang memiliki otoritas tertinggi untuk memutuskan nasib rakyatnya dalam wilayah geografis tertentu. Secara legal, prinsip ini dilindungi dan diatur oleh berbagai kerangka hukum internasional, seperti Piagam PBB, Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik, serta resolusi-resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB. Misalnya, artikel 1 dari konvensi hak-hak sipil dan politik mengatakan, semua orang memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, status politik, dan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya secara bebas. Selain itu, deklarasi tentang jaminan kemerdekaan untuk para koloni tahun 1960 mengatakan bahwa dominasi, exploitasi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak fundamental, dan pelanggaran terhadap piagam PBB. Lebih lanjut, deklarasi ini juga menegaskan bahwa semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri secara bebas dan memutukan status politiknya.
Sebagai sebuah bangsa, Maubere merupakan sebuah komunitas imajinatif yang berjuang untuk memperoleh kedaulatan dalam menentukan masa depan dan status politiknya sendiri tanpa intervensi pihak luar. Hal ini jelas dalam manual politik Fretilin, pesan-pesan Xanana, lagu-lagu serta puisi-puisi yang digunakan selama masa perjuangan untuk membangkitkan kesadaran nasional. Misalnya dalam syair lagu Foho Ramelau, salah satu ba’itnya mengatakan “hader kaer rasik kuda talin eh, hader ukun rasik ita rain eh.” Intinya, lagu ini berisikan seruan untuk menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Mimpi untuk menjadi bangsa yang berdaulat juga tampak jelas ketika pada masa pendudukan, Timor-Leste secara terang-terangan mengatakan“mate ka moris ukun’an.”
Ketiga, Maubere adalah sebuah konstruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial, Maubere tidak bersifat baku dan maknanya tidak permanen. Dalam sejarah-nya, Maubere mengalami perubahan dari zaman ke zaman; tergantung pada siapa yang menggunakannya, dan kepada siapa Maubere digunakan untuk menyapa. Artinya, penafsiran terhadap Maubere sebagai sebuah identitas nasional “kita” dipengaruhi oleh keberadaan orang lain “mereka.” Dengan kata lain, sebagai sebuah konstruksi sosial, Maubere digunakan dalam relasinya dengan orang lain yang, oleh Maubere dianggap sebagai musuh yang mengancam eksistensi dan kedaulatannya. Dalam konteks ini, selama masa Penjajahan Portugues, Maubere digunakan sebagai sebuah identitas nasional dengan proyeksi pada Portugal, dan pada masa pendudukan militer Indonesia, proyeksinya adalah Indonesia atau Javanese.
Terakhir, Maubere sebagai sebuah Frontier. Frontier di sini memiliki fungsi ganda. Secara geografis, komunitas imajinatif tersebut memiliki batas-batas geografis tertentu. Sebagai sebuah kesadaran nasional, Maubere digunakan untuk menciptakan batas-batas imajinatif antara orang yang merasa diri sebagai bangsa yang tertindas, terjajah, miskin, dan melarat dengan penjajah. Maubere, yang dulunya digunakan oleh penjajah untuk membangun batas imajinatif antara penduduk lokal dan penjajah, direbut kembali oleh pelopor nasionalisme untuk membangun batas tersebut. Misalnya, Xanana menggunakan Maubere untuk menyapa khusus orang-orang Timor-Leste yang berkomitmen terhadap pembebasan tanah air dari pendudukan militer Indonesia.
Catatan Akhir
Pembahasan melalui artikel ini membuktikan bahwa Maubere, dari awalnya, mengalami perubahan dari jaman ke jaman. Sebagai sebuah wacana politik, dan identitas nasional, interpretasi terhadap makna Maubere tergantung kepada kontext dimana Maubere digunakan, oleh siapa dan untuk menyapa siapa. Dalam berbagai momentum, interpretasi terhadap Maubere ditentukan oleh siapa “mereka” dan kesadaran nasional sebagai “kita” yang tumbuh untuk melawan berbagai sistem yang mengancam komunitas imajinatif tersebut. Sekali lagi, artikel ini tidak bertujuan untuk memberi sebuah interpretasi definitive, tetapi sebuah interpretasi sepihak terhadap sejarah dan perjalanan konsep Maubere dari jaman ke jaman. Selain itu, artikel ini juga ingin menghidupkan kembali wacana politik yang melahirkan identitas nasional kita sebagai sebuah bangsa.
No comments:
Post a Comment