Saturday 11 December 2010

Nasionalisme, identitas nasional, dan perlawanan terhadap tatanan ekonomi global

Pengantar

Guteriano Neves
Estudante iha Hawaii



Tiga puluh lima (35) tahun lalu, para perintis ide nasionalisme Timor-Leste memproklamasikan kemerdekaan sebuah Negara baru “Republica Democratica de Timor-Leste.” Proklamasi ini menandai kedatangan RDTL dalam komunitas Negara-Bangsa di dunia. Setiap tahun, kita memperingati peristiwa bersejarah itu, dan merefleksikan kembali peristiwa itu. Setiap peringatan seperti itu adalah sebuah ritual dan simbol untuk memperkuat kembali identitas kita sebagai “sebuah bangsa berdaulat.” Dalam kaitan dengan itu, beberapa pertanyaan kritis diajukan: di atas bangsa mana, RDTL sebagai Negara berdiri? Atau RDTL sebagai sebuah Negara, darimana ia memperoleh legitimasi untuk eksis?

Artikel ini adalah sebuah usaha untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas. Argumen sentral dari artikel ini adalah nasionalisme sebagai sebuah gerakan untuk konstruksi identitas nasional. Karena bentuk penjajahan mengalami perubahan dari jaman ke jaman, gerakan nasionalisme juga selalu berubah karena proyeksinya adalah penjajahan. Oleh karena itu, identitas yang dibangun oleh gerakan nasionalisme adalah sebuah gerakan counternarrative terhadap segala bentuk penjajahan. Tetapi identitas itu telah mengalami kekaburan selama beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, adalah penting untuk meninjau kembali identitas nasional tersebut, dalam proyeksinya dengan system ekonomi neo-liberal sekarang.

Identitas Sebagai Konstruksi Sosial

Identitas, meskipun seringkali dipahami sebagai keadaan alamiah, natural, dan karunia Tuhan, tetapi tidak demikian. Pendekatan-pendekatan post-modernisme sekarang melihat masalah identitas sebagai sebuah konstruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial, identitas bisa dikonstruksi, dihancurkan, dan dikonstruksi kembali. Seperti yang digarisbawahi oleh David Campbell (1998; 9), Identitas tidak bersifat baku, permanen dan tetap; melainkan relatif, dan mengalir. Proses pencarian identitas tidak pernah mencapai akhir, tetapi bersifat kontinuitas. Dalam hal ini, Campbell menguraikan bahwa setiap orang, entah itu secara individual atau kolektif, tidak bisa lepas dari proses tersebut.

Dalam kaitannnya dengan Negara modern, Negara memainkan peran penting untuk merekonstruksi identitas tersebut. Negara-negara modern merekonstruksi identitas sebagai bangsa melalui berbagai cara; pendidikan, media massa, institusi-institusi keagamaan, dan mekanisme lainnya. Negara, dalam merekonstruksi identitas, selalu mencari faktor eksternal (eksternal tidak selalu berarti bahwa di luar batas geografis, tetapi eksternal juga bisa berarti di dalam wilayah kedaulatan Negara) dan melabelnya sebagai musuh.

Lebih lanjut, konstruksi identitias merupakan sebuah refleksi diri “kita” dalam kaitannya dengan perbedaan “kita” dengan orang lain “mereka.” Dalam bahasa yang lebih populer sekarang, sering dikatakan bahwa “kita akan mengenal arti dari “kita” ketika kita sadar arti dari “mereka.” Dalam hal ini, kehadiran “mereka” memberi arti kepada eksistensi “kita.” Dalam rangka konstruksi identitas, Negara sering merekonstruksi “mereka” demi memberi arti bagi “kita.” Pendefinisian arti “mereka” sering dilakukan melalui identifikasi terhadap musuh-musuh Negara, yang kemudian, Negara menggunakannya untuk menjustifikasi keberadaannya. Negara, lebih lanjut mendefinisikan musuh sebagai sumber ketidakamanan ( state of insecurity) dan bahaya (danger), dan Negara sebagai sumber keamanan dan keselamatan yang memberikan perlindungan terhadap warganya. Dalam konteks ini, Negara modern, meskipun muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap Kristianity, dan agama, Negara melanjutkan tradisi Kristianity, yang melihat “Bahaya” (danger) untuk memperkuat otoritasnya, atu mendisiplinkan para pengikutnya dan mengidentifikasi musuhnya (Campbell; 1998; 48).

Sejauh nasionalisme adalah sebuah proses pencarian identitas, maka nasionalisme di Negara-negara dunia ketiga adalah sebuah proses pendefinisian diri dalam relasinya dengan kaum penjajah. Dalam proses perjuangannya, ada sebuah counternarrative terhadap makna dari penjajahan. Dalam wacana politik Negara-negara Selatan, sejarah panjang eksploitasi dan penindasan oleh bangsa-bangsa Utara selalu melahirkan sebuah kesadaran baru bagi identitas baru kaum terjajah. Perlu dipahami, makna disini bersifat interpretative, dalam arti bahwa makna penjajahan dari kaca mata kaum terjajah. Sejauh penjajahan dipahami sebagai “penindasan,” “exploitasi” “ketergantungan” dan “kemelaratan,” maka identitas baru adalah “pembebasan,” “kemerdekaan” dan “pemerataan sosial.” Didasarkan pada kesadaran tersebut, proyek nasionalisme pada ujung-ujungnya dalah hasrat untuk membentuk sebuah Negara yang berdiri di atas bangsa yang berdaulat.

Nasionalisme Timor-Leste dan Konstruksi Identitas Nasional

Nasionalisme adalah sebuah proyek modernisme. Sebagai sebuah proyek modernisme, nasionalisme adalah sebuah applikasi ajaran pencerahan terhadap komunitas nasional (Yack; 31). Nasionalisme, dengan demikian adalah bentuk dari promosi kedaulatan masyarakat sebagai sebuah komunitas nasional (Yack; 35). Nasionalisme juga adalah sebuah proyek kalangan kelas menengah yang dipromosikan kepada masyarakat melalui berbagai mekanisme. Bukti dari konsep ini dapat dilihat pada sejarah munculnya nasionalisme di Negara-negara bekas koloni, dimana mayoritas pencetus ide nasionalisme adalah kalangan kelas menengah yang menikmati sedikit pendidikan kolonialis, namun berbalik memberontak kalangan penjajah. Terlepas dari itu, pada akhirnya, gerakan nasionalisme di Negara-negara selatan berhasil melahirkan sebuah identitas baru sebagai sebuah Bangsa. Dengan demikian, pendapat Gellner dan Hobsbawn tepat bahwa, nasionalismelah yang melahirkan bangsa, dan bukan bangsa yang melahirkan nasionalisme.

Jika kita melihat kembali kepada gerakan nasionalisme yang dimulai oleh pendiri Fretilin pada tahun 1970-an, identitas nasional tidak dibangun di atas batas geografis. Meskipun unsur geografis (spaced-based imagination) berkontribusi dalam menentukan kedaulatan wilayah, tetapi yang memberikan makna bagi identitas nasional “kita” sebagai sebuah masyarakat imajinatif adalah sejarah eksploitasi penjajahan Portugis. Dengan demikian, konstruksi identitas nasional “kita” adalah sebuah counternarrative terhadap proyek penjajahan yang menindas penduduk pribumi selama ratusan tahun.

Fakta bahwa identitas nasional kita adalah sebuah konstruksi sosial dapat dilihat pada manipulasi (dalam arti positif) terminologi Maubere dan Maubereisme sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan. Maubere, yang sebelumnya, oleh penjajah digunakan untuk menggambarkan keterbelakangan dan primitif, diambil dan maknanya diinterpretasi kembali dengan memberikan arti baru kepada terminologi ini. “Maubere” dalam arti yang baru, diartikan sebagai perjuangan melawan kelaparan, buta-huruf, kebodohan dan kemisikinan (Hill; 2000; 90). Ramos Horta, Presiden kita sekarang, mendefinisikan maubere sebagai “suatu filsafat yang berupaya membuat orang biasa menjadi bisa membaca-menulis dan bebas dari kemiskinan serta ketidakadilan sosial lainnya (Kutipan dari Wawancara Jose Ramos Horta dengan Tempo oleh Helen Hill; 2000; 90). Jadi, Maubere dalam konsep yang baru merupakan sebuah kesadaran nasional baru yang didasarkan pada keberadaan kolonialisme. Singkatnya, seperti yang diuraikan oleh Pe. Martinho Gusmao (2000; 80), Maubere dan Maubereisme memiliki dua makna: di satu sisi, maubere merupakan sebuah gerakan anti kolonialisme, di sisi lain maubere juga adalah sebuah kesadaran budaya demi mencapai sebuah bangsa dan kaum yang tegak berdaulat.

Yang menjadi penting di sini adalah bukti bahwa identitias nasional sebagai “Maubere dan Maubereisme” mengalami perubahan dari jaman ke jaman. Dan entah itu makna lama atau makna baru, Maubere dan Maubereisme harus diartikan dalam relasinya dengan kehadiran penjajahan. Dengan kata lain, kehadiran penjajahan itu sendiri yang memberikan arti kepada Maubere dan Maubereisme. Dengan menggunakan bahasanya Edward Said dalam karyanya “Orientalisme,” kehadiran penjajah di sini memainkan peran sebagai “mereka” yang memberikan arti kepada “kita.” Jadi imajinasi terhadap identitas “kita” dibangun diatas persepsi dan interpretasi kita tentang keberadaan “mereka.” Konsep “kita” atau “di dalam” dan “mereka” atau “di luar” selalu memainkan peran dialektik dengan satu memberi arti bagi yang lain.

Yang menarik bagi saya untuk dilihat adalah identitas nasional sebagai sebuah masyarakat imajinatif dan rancangan program-program nasionalisme pada waktu itu. Jika dilihat pada program-program Fretilin pada waktu itu, penjajah tidak berakhir dengan kemerdekaan politik, atau dengan didirikannya sebuah negara. Tetapi muncul kesadaran akan munculnya proyek-proyek neo-kolonialisme dalam berbagai bentuk. Penjajahan bukan hanya keadaan masa lalu. Tetapi itu dipresentasikan sebagai sebuah “hantu” yang tetap mengancam keberadaan identitas nasional Maubere di masa depan. Dengan menghadirkan neo-kolonialisme, identitas nasional sebagai kaum tertindas yang berjuang untuk mempertahankan jati diri dan kedaulatannnya tetap dijaga. Neo-kolonialisme di sini hadir sebagai musuh “mereka” yang memberi makna kepada identitas “kita.”

Didasarkan atas identitas tersebutlah para pelopor kemerdekaan merancang program-program pembebasan nasionalnya. Seperti diuraikan oleh Jill Joliffe (1978; 75), program-program rekonstruksi ekonomi didasarkan pada koperasi, produksi, konsumsi dan eliminasi ketergantungan pada bahan-bahan impor yang berlebihan telah dicanangkan pada waktu itu oleh Fretilin. Program-program yang berorientasi kerakyatan seperti reformasi agraris juga dicanangkan dengan usaha untuk meredistribusi tanah dan juga pengunaan lahan-lahan subur, dan mekanisasi industri pertanian (Joliffe; 1978; 75). Program pemberantasan buta huruf, pergantian system pendidikan penjajah dengan pendidikan baru yang berlandaskan pada kebudayaan lokal, promosi ekonomi kerakyatan dengan mengutamakan “self-reliance” merupakan program-program pembebasan nasional pada waktu itu.

Selama pendudukan Indonesia, Identitas nasional harus direkonstruksi ulang dalam proyeksinya dengan pendudukan militer Indonesia. Jika sebelumnya identitas nasional diproyeksikan terhadap penjajahan Portugues, maka pada era pendudukan militer Indonesia, identitas nasional diproyeksikan terhadap pendudukan tersebut. Maka kesadaran yang muncul adalah kesadaran nasional dalam resistensi melawan pendudukan militer tersebut.

Dalam implementasinya, penggunaan kata Maubere diasosiasikan dengan sebuah perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan Masyarakat Imajinatif yang telah dideklarasikan pada tahun 1974. Dengan demikian, Identitas nasional selama Indonesia adalah sebuah bentuk resistensi dan penolakan terhadap okupasi militer Indonesia, penegakkan kedaulatan bangsa, dan perjuangan untuk penentuan nasib sendiri.

Pudarnya Identitas Nasional (1999-2010)

Dengan melihat kembali pada sejarah tersebut, hal yang jelas adalah proklamasi RDTL sebagai Negara moderen pada waktu itu, bersandarkan diri pada Maubere sebagai sebuah masyarakat tertindas. Sejauh Negara memperoleh legitimasi dari Bangsa, maka RDTL memperoleh legitimasi dari Maubere sebagai Bangsa. Setelah 35 tahun, pertanyaan yang kembali muncul adalah di atas identitas mana RDTL sekarang bersandar? Atau di atas bangsa mana, RDTL memperoleh legitimasi untuk eksis? Jika identitas nasional pada waktu itu dipahami dengan proyeksi terhadap kolonialime dan neokolonilisme, maka apakah penjajahan itu telah tiada?

Melihat kembali perjuangan para pencetus ide-ide nasionalisme Timor-Leste, ada sebuah kekaguman dari saya terhadap ide-ide mereka. Ide-ide dan program-program nasionalisme pada waktu itu menunjukkan betapa kuatnya kesadaran nasional pada waktu itu dan ide-ide mereka sangat berkembang, sampai menyentuh ide-ide seperti neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Lebih lanjut, agenda nasionalisme mereka tidak sebatas pada pembebasan tanah air, tetapi lebih pada pembebasan rakyat. Dengan demikian, jika penjajahan diasosiasikan dengan penindasan rakyat dalam berbagai bentuk, maka nasionalisme pada waktu itu adalah pembebasan rakyat dari segala bentuk penindasan.

Tetapi, harus diakui bahwa salah satu dampak dari pendudukan militer Indonesia selama 24 tahun adalah penghancuran terhadap program-program nasionalisme dan konsep identitas nasional yang telah dikonstruksi sebelumnya. Pendudukan tersebut menghancurkan cara orang Timor-Leste memproyeksikan diri dari sebuah penjajahan ke sebuah okupasi militer. Dampaknya agenda nasionalisme selama pendudukan militer hanya sebatas pada melepaskan diri dari regime repressive, dan tidak mendefinisikan apa yang akan terjadi setelah Indonesia keluar dari Timor-Leste.

Proses rekonstruksi fisik paska 1999, didominasi oleh agen-agen pembangunan internasional, terutama Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia, serta agen-agen pembangunan internasional. Institusi-institusi ini merupakan perpanjangan tangan dari sistem ekonmi global, neo-liberalisme. Dengan demikian, berbagai kebijakan, dan nasehatnya bertujuan untuk mengintegrasikan Timor-Leste ke dalam sistem ekonomi global yang tidak adil bagi Negara-negara Selatan.

Ketika Timor-Leste merestorasikan kembali kemerdekaannnya, agenda-agenda nasionalisme yang telah dicetuskan sebelumnya telah dikaburkan dan dihancurkan. Sayangnya, setelah itu, tidak ada usaha dari pihak Timor-Leste untuk merevitalisasi kembali agenda-agenda itu. Meskipun harus diakui bahwa banyak yang sudah tidak sesuai dengan konteks sekarang, tetapi, saya kira bahwa agenda-agenda penting seperti perjuangan melawan neo-kolonialisme, self-reliance, reformasi agraris, pendidikan, dan pemerataan sosial merupakan agenda-agenda yang sangat kontekstual untuk dihidupkan kembali. Sayangnya, yang terjadi, rencana Pembangunan Nasional, baik itu 2020, maupun 2030 yang sekarang, telah mengadopsi agenda-agenda neo-liberalisme.

Saat ini, agenda nasionalisme dan identitas nasional itu sudah kabur dan bahkan hilang dari wacana politik pembangunan nasional. Masalah identitas tidak lagi dianggap sebagai isu penting yang perlu didiskusikan pada saat ini. Akibatnya dapat dilihat pada krisis 2006, dimana Timor-Leste dihadapkan pada persoalan persatuan nasional. Lebih lanjut, kaburnya identitas nasional kita juga berimplikasi terhadap konsep dan orientasi pembangunan nasional pada saat ini, yang tendensinya lebih kepada neo-liberalisme.

Identitas Nasional dan Perlawanan terhadap Tatanan Ekonomi Global

Pendefinisian kembali identitas merupakan hal yang penting, dan harus merupakan inti dari refleksi nasional pada peringatan hari proklamasi kemerdekaan ini. Tetapi merumuskan kembali identitas nasional bukanlah sebuah konsep tersendiri. Perumusan kembali identitas nasional “kita” membutuhkan sebuah perumusan “mereka” lebih dulu. Maka pertanyaan yang harus dimunculkan pertama adalah “Siapa musuh kita sekarang?” Apakah tidak ada lagi sebuah bentuk penjajahan pada abad 21? Jika pada masa penjajahan, musuh kita “mereka” didefinisikan sebagai segala bentuk penindasan, dan pada masa pendudukan Indonesia “mereka” didefinisikan sebagai okupasi militer, maka siapakah “Mereka” sekarang? Bagi saya, pertanyaan-pertanyaan di atas harus diuraikan jawabannya untuk membangun kembali sebuah kesadaran nasionalisme baru. Tentu saja merumuskan kembali identitas nasional memiliki banyak aspek; politik, economi dan cultural. Dalam artikel ini, penulis ingin memfokuskan dari pada aspek ekonomis, yang berkaitan dengan system ekonomi Neo-liberal sekarang ini.

Jika kita melihat kembali system ekonomi global paska Perang Dunia kedua, system tersebut dibangun untuk mempertahankan kepentingan negara-negara Utara. Hal ini dapat dilihat dengan jelas sejarah dan struktur institusi-institusi internasional seperti Bank Dunia, FMI, GATT hingga Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Bank Dunia, IMF misalnya, didirikan melalui Konferensia Bretton Woods, dimana banyak Negara-negara Selatan yang belum merdeka pada waktu itu. Dan hingga sekarang, proses pengambilan kebijakannnya masih didominasi oleh negara-negara Utara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dll.

Selama tahun 1980-an, melalui Bank Dunia dan IMF, Negara-negara Utara memaksa Negara-negara Selatan untuk melakukan reformasi dalam tatanan ekonominya dan mengadopsi kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada Pasar Bebas. Melalui “Structural Adjustment Program,” Bank Dunia dan IMF menetapkan berbagai kondisi yang harus dipenuhi oleh negara-negara Selatan yang ingin mendapat utang. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud adalah menghapus semua pajak terhadap barang impor, menghapus berbagai bentuk subsidi terhadap para petani lokal, mengurangi alokasi anggaran Negara kepada sector pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan, serta liberalisasi system keuangan Negara. Ini semua adalah bentuk penjajahan baru, yang dibalut dengan nilai-nilai luhur seperti kebebasan individual, efisiensi ekonomi, demokrasi, HAM, dan lain-lainnya.

Atas dasar itu, ekspansi tatanan ekonomi di atas bukannya tanpa perlawanan. Pemimpin negara-negara selatan, sejak awal telah menyadari usaha tersebut. Pada dasarnya, pemimpin-pemimpin Negara Selatan seperti Soekarno di Indonesia, Nehru di India, Nasser di Mesir, Ho Chi Minh di Vietnam, hingga Castro dan Che Guevara di Kuba menyadari hal seperti itu setelah mereka memperoleh kemerdekaan. Makanya kerjasama seperti Gerakan Non Blok, Konferensia Asia Afrika, dan ide untuk memunculkan Orde Ekonomi Global Baru (New International Economic Order/NIEO) adalah reaksi dari para pemimpin di atas untuk mengcounter usaha dari eks penjajah dalam melanjutkan proyek kolonialisme baru. Pada era sekarang, kita juga menyaksikan hadirnya beberapa pemimpin Negara selatan yang mencoba melawan tatanan ekonomi global tersebut. Hugo Chavez di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, Inasio “Lula” da Silva di Brazil, serta lainnya.

Dalam dunia akademis, tidak sedikit juga intellectual yang melakukan perlawanan terhadap tatanan ekonomi global tersebut. Teori Ketergantungan dan Teori Sistem Internasional adalah dua teori ternama yang merupakan bentuk perlawanan terhadap system ekonomi global setelah perang dunia kedua. Selain itu, pemikir-pemikir seperti Edward W. Said, Vandana Shiva, Hamzah Alavi, dan gerakan-gerakan seperti Forum Sosial Dunia (World Social Forum) adalah berbagai bentuk perlawanan terhadap tatanan tersebut.

Dengan penjelasan di atas, untuk membangun kembali identitas nasional pada era sekarang, saya kira bahwa agenda pertama adalah bagaimana Timor-Leste melihat sistem ekonomi global atau “Neo-liberalisme.” Neo-liberalisme, dalam sejarahnya adalah sebuah sistem ekonomi global yang dicetuskan oleh Negara-negara Utara, demi mempertahankan hubungan yang tidak seimbang antara negara-negara Utara dan Selatan. Ini adalah sebuah bentuk kolonialisme dan imperialisme baru. Menurut saya, pendefinisian musuh pada era sekarang adalah dengan pembalikan cara kita memandang sistem ekonomi global tersebut. Dalam konteks ini, neoliberalisme adalah sebuah hantu bagi proses pembebasan rakyat Timor-Leste, dan bukan sebuah jalan menuju ke pembebasan nasional, seperti yang sering digembar-gemborkan oleh para pelopornya.

Dengan menempatkan neoliberalisme sebagai sebuah bentuk penjajahan babak baru, gerakan nasionalisme baru juga direkonstruksi sebagai counternarrative terhadap bentuk neo-kolonialisme tersebut. Jika Neo-liberalisme identik dengan neo-kolonialisme, dan neo-kolonialisme adalah identik dengan penindasan, dan eksploitasi, maka identitas baru adalah sebuah masyarakat imajinatif yang tetap mendambakan kebebasan dari segala bentuk penindasan dan ketergantungan.


Catatan akhir

Pertanyaan “diatas bangsa mana, RDTL memperoleh legitimasi untuk eksis” adalah sebuah pertanyaan yang harus diperdebatkan di era sekarang. Pertanyaan ini mengajak kita untuk meninjau kembali siapa “kita”. Pendefinisian jati diri “kita” sebagai bangsa harus didasarkan pada pendifinisian “mereka.” Sebagai sebuah bangsa yang baru keluar dari penjajahan dan okupasi militer, pembangunan kembali identitas nasional adalah penting. Tanpa mengetahui siapa diri kita, kita juga patut mempertanyakan “RDTL sebenarnya melayani siapa?!”

Identitas nasional bukanlah sebuah proses yang berakhir. Proses ini tidak pernah mencapai tujuan akhirnya, karena memang identitas nasional tidak memiliki tujuan akhir. Sejauh bentuk penindasan dan eksploitasi selalu eksis, maka identitas nasional adalah segala bentuk resistensi terhadap itu. Dengan kata lain, identitas nasional Timor-Leste adalah sebagai konsep Postcolonialisme local yang selalu hadir untuk menyadarkan masyarakat pribumi atas penindasan itu. Dengan dasar itu, jika negara RDTL mengklaim diri untuk memperoleh legitimasi dari sebuah bangsa yang tertindas, maka berbagai wacana politik pembangunan ekonomi sekarang seharusnya bertujuan untuk melawan tatanan ekonomi global yang tidak adil tersebut.

1 comment:

Anonymous said...

Hebat...hebat..hebatt!!! Suatu artikel yg sangat bagus dan penting bagi semua orang Timor Leste utk direfleksikan!!

Dengan mengenali diri kita sebagai suatu bangsa maka kita akan lebih mudah mengenal dunia dan bersiap utk menhadapi tantangan-tantangan dari dunia agar kita bisa lebih siap utk memperkuat eksistensi kita sebagai bangsa-negara yg berdaulat.